Korupsi
adalah penyalahgunaan jabatan, wewenang dan kekuasaan yang dimiliki untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum sehingga
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Akan tetapi disisi
lain, tindak Pidana korupsi semakin luas dan tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah merupakan pelanggaran
terhadap hak hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.[1] Menurut Fockema
Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio
atau corruptus ( Webster student
dictionary ; 1960 ). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula
dari asal corrumpere, suatu kata
latin yang lebih tua. [2] Dari bahasa latin itulah
turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris
, yaitu corruption, corrupt; prancis
, yaitu corruption dan Belanda yaitu corruptie. Kita dapat memberanikan diri bahwa bahasa Belanda inilah kata itu turun ke
bahasa Indonesia yaitu korupsi.
Arti
harafiyah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah seperti yang dibaca dalam The Lexican Webster Dictionary : Corruption : the act of corrupting or
the state of being corrupt ; putrefactive decomposition, putrid matter ; moral
perversion ; depravity, perversion of integrity ; corrupt or dishonest
proceedings, bribery; perversion from a state of purity ; debasement, as of a
language ; a debased form of a word’’ ( the lexicon 1978 ).
Istilah
korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu,
disimpukan dalam kamus umum bahasa Indonesia; korupsi adalah perbuatan yang
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.Korupsi
merupakan satu dari tiga isu nasional yang sering menjadi bahan diskusi baik
pada tingkat nasional maupun internasional selain pelanggaran hak asasi manusia
( HAM ) berat ( gross violation of human
rights ) dan masalah terorisme. Ketiga isu tersebut kini sudah diatur
dalam Konvensi Konvensi internasional yang relevan
dan juga sudah dikriminalisasikan dalam undang undang nasional seluruh negara
termasuk Indonesia. Oleh karena itu dikatakan bahwa tiga isu kejahatan
internasional ( Triangle internastional
Crimes ) tersebut merupakan ”Internasional
symbol of evil” dalam abad 21. Ketiga internasional crimes
tersebut merupakan degradasi perubahan dunia ( global civilization ) dan sangat merusak kemanusiaan di semua negara
karena ketiganya memiliki dampak dan bertanggungjawab atas terjadinya
kemiskinan ( poverty ),
ketidakberdayaan ( powerless ) dan
kerusakan fisik, psikologis dan budaya bangsa bangsa di dunia.[3]Menurut
Political and Economical Risk Consultancy
( badan independent yang mengamati dan meneliti perkembangan politik dan perekonomian ),
Indonesia merupakan negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi. Hal ini
terjadi karena di dukung hal hal sebagai berikut :[4]
- Didalam beberapa titik kinerja korupsi semakin demokratis dipraktekkan di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
- Kelemahan Institusi terutama pada aparat hukum
- Rendahnya kepercayaan masyarakat yang menyebabkan tidak berjalannya law enforcement.
Ada beberapa
pendapat mengapa orang melakukan korupsi di Indonesia. Berbagai pendapat telah
dilontarkan, ditambah dengan pengalaman pengalaman selama ini, kita dapat
berasumsi atau hipotesis misalnya sebgai berikut :[5]
1.
Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai dibandingkan
dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.
Kurangnya gaji
dan pendapatan pegawai negri memang faktor yang paling menonjol dalam arti yang
merata dan meluasnya korupsi di Indonesia. Hal ini juga dikemukakan oleh Guy J. Pauker dalam tulisannya yang
berjudul ”Indonesia 1979 ; The Record Of
Three Decades ( Asia Survei Vol XX No 2, 1980 ; 123 ) sebagai berikut; ’’Although
corruption is widespread in Indonesia as a means of supplementing excessively
low government salaries , the recourses of the nations are not being used
primarily for the accumulation of vast
private fortunes, but economic development and some extent, for welfare.’’
2. Manajemen
yang kurang baik dan control yang kurang efisien.
3. Penyebab
korupsi adalah modernisasi. Penyebab modernisasi dapat meningkatkan
korupsi, karena :
· Modernisasi
membawa perubahan perubahan pada kebutuhan dasar atas masyarakat.
· Modernisasi
juga mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber sumber kekayaan
dan kekuasaan baru.
Indonesia
telah melakukan upaya upaya hukum untuk mengatasi tindak Pidana korupsi ini,
dengan membentuk peraturan peraturan sebagaimana tersebut di atas sehingga
pelaku tindak Pidana korupsi dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara
hukum. Namun dalam pelaksanaannya, banyak kasus korupsi yang perkaranya tidak
dilanjutkan dan tidak ada tindak lanjut ataupun putusan akhir dari kasus
korupsi tersebut. Permasalahan akan semakin kompleks apabila tersangka
maupun pelaku tindak Pidana korupsi tersebut melarikan diri keluar wilayah
negara republik Indonesia. Penggunaan hukum internasional dalam hal ini kaidan
kaidah hukum Pidana internasional merupakan salah satu jalan dalam menyelesaikan
permasalahan ini. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak dapat melakukan tindakan
hukum atau yurisdiksi hukumnya di
wilayah negara lain karena hal tersebut merupakan yurisdiksi dan kewenangan
negara lain. Apabila suatu negara ingin menjalankan Yurisdiksi
hukumnya di suatu negara asing harus ada izin dari negara yang bersangkutan
YURISDIKSI.
Definisi
yurisdiksi.
Jurisdiction atau
Yurisdiksi adalah suatu konsep hukum yang berkaitan tentang bagaimana suatu
negara menerapkan kekuasaannya (power)
untuk mengatur rakyat dan properti-nya serta berkaitan erat dengan
prinsip-prinsip kedaulatan (sovereignty),
kesamaan (equality) dan
non-intervensi dalam masalah dalam negeri suatu negara. Yurisdiksi dapat diartikan juga sebagai kewenangan suatu negara untuk menerapkan ketentuan ketentuan hukum ( yurisdiction to prescribe ) dan
menegakkan ketentuan ketentuan hukum nasionalnya ( yurisdiction to enforce). Dengan yurisdiction to prescribe, suatu negara bebas untuk merumuskan,
juga menyatakan bahwa ketentuan hukumnya berlaku secara ekstrateritorial.
Sedangkan yurisdiction to enforce,
suatu negara tidak dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukumnya yang
telah di rumuskannya, di luar wilayah negaranya. Hal ini di sebabkan oleh asas par in parem non habet imperium yang
melarang suatu negara yang berdaulat memaksakan tindakan kedaulatan di dalam
wilayah lain.[6]Asas
ini mengakui kedaulatan suatu negara adalah sama.[7]
Wewenang suatu negara untuk melaksanakan yurisdiksinya ini meliputi baik bidang
hukum publik maupun hukum perdata.
Hukum internasional sendiri mendenotasikan yurisdiksi
dalam dua arti : yang pertama mengarah pada kompetensi / wewenang dari
pengadilan untuk memutuskan perkara. Dilain pihak, yurisdiksi berarti hak / kewenangan suatu negara untuk mengatur warganegaranya
atau objek di wilayahnya.[8] Menurut
D.W Greig : ” Jurisdiction is a primary territorial, a state has
jurisdiction over persons and things and over events occurring within its
territory and extension of its law to certain events occurring outside that
territory.’’[9] Secara umum dapat dikatakan
bahwa yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap benda atau peristiwa hukum. Dalam Blacks Law Dictionary, disebutkan bahwa “ Jurisdiction is a governments general power to exercise authority
over all persons and things within its territory.’’ Ian
Browlie
menyatakan bahwa yurisdiksi adalah suatu akibat utama adanya kedaulatan dan
persamaan derajat negara negara (
equality of states ) yang Prima Facie
Eksklusif terhadap wilayah dan
populasi permanen terakhir yang tinggal
dalam wilayah tersebut.
Pengertian
kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting ,
yaitu : kekuasaan
itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasan itu; Kekuasaan
itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain di mulai.Di dalam hukum
internasional, kedaulatan negara adalah sama. Akibatnya negara negara dilarang
melakukan intervensi kedalam wilayah negara lain. Tiga prinsip yang relevan
dalam kaitannya dengan yurisdiksi yaitu :[10]
1. Equality Of States. Doktrin
persamaan kedaulatan ini memiliki implikasi yang jelas terhadap yurisdiksi
formulasi baru dan prinsip persamaan hak
dalam ” Decklaration on Principles of
International Law Concering Friendly Relations and Cooperation Among States’’ (
1970 ). Deklarasi ini
memberikan masukan tentang batasan batasan yang mungkin di hasilkan dari
doktrin ini. Hal ini mengacu pada negara negara untuk bebas menentukan tanpa
intervensi negara lain, status politiknya dan pelaksanakan pembangunan ekonomi,
sosial dan budaya mereka.
2. The Principle Of Non Intervention. Dalam deklarasi 1970,
disebutkan : ‘’ No state..has the rights
to intervene , directly and in
directly for any reasons, whatever in the internal or external affairs of any other states….every
site has an indionable rights to choose its political , economic , social and cultural
systems without interference in any form by another state.” Prinsip ini juga didukung oleh Deklarasi Majelis Umum PBB
Nomor 2131 tanggal 21 Desember 1965 yang berisi :[11]
- No state has the right to intervene directly or indirectly for any reasons whatever in the internal or external affair of any other state
- No state may use or in courage the use of economic, political , of any other type of measures to coerce another state in order to obtain form it subordination of the exercise of its sovereign rights to secure from advantages of any kind…
- Ever state has inalienable rights to choose its political, economic, social and cultural systems without interference in any form by another states.
Berkaitan dengan
masalah yurisdiksi maka hukum internasional memberikan dua aturan dasar yaitu : Tidak ada
suatu negara pun diperbolehkan untuk melaksanakan kedaulatannya di dalam
wilayah negara lain tanpa persetujuan dari negara yang bersangkutan ; Merupakan
suatu prinsip yang diterima secara umum bahwa suatu negara tidak boleh
melaksanakan yurisdiksinya atas orang, benda dan tindakan di luar wilayahnya
tanpa suatu hubungan yang jelas. Hal di atas jelas menunjukan bahwa
suatu negara tidak diperbolehkan melaksanakan yurisdiksinya di wilayah negara
lain tanpa persetujuan dari negara yang
bersangkutan. Apabila
seorang warga negara melarikan diri keluar negri karena warga negara tersebut
melakukan tindak Pidana korupsi maka suatu negara tidak boleh melaksanakan
yurisdiksinya atas orang, benda ( aset hasil korupsi ) dan melakukan tindakan
tindakan di luar wilayah Indonesia untuk menangkap pelaku tindak Pidana korupsi,
tanpa adanya hubungan yang jelas dan tanpa bukti bukti yang kuat yang dapat
dijadikan acuan bagi tindakan yang akan diambil.
Dalam prakteknya, yurisdiksi dapat dibedakan antara
yurisdiksi Pidana dan yurisdiksi perdata. Yurisdiksi Pidana adalah kewenangan ( hukum ) pengadilan suatu negara terhadap
perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang di dalamnya terdapat hukum asing maupun
nasional. Sepanjang yang menyangkut perkara Pidana, yurisdiksi yang dimiliki
oleh suatu negara dapat berupa bentuk bentuk berikut ini :
Prinsip Teritorial ( Territorial Jurisdiction ).
Dalam
Black Law Dictionary disebutkan bahwa
“ Territorial jurisdiction is a
jurisdiction arising in or involving persons residing with definite territory”.
Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan yang
dilakukan di dalam wilayahnya.[12] Prinsip
teritorial ini dibagi menjadi dua :
Prinsip
Teritorial subjektif ( Subjective
Territorial Principle ). Negara negara ini menjalankan yurisdiksinya agar menuntut dan
menghukum perbuatan Pidana yang dilakukan di dalam wilayah negaranya tetapi
perbuatan itu diselesaikan atau dituntaskan di wilayah negara lain. Walaupun
prinsip ini belum diterapkan secara umum oleh bangsa bangsa, tetapi
penerapannya secara khusus telah menjadi bagian dari hukum internasional dan
dimasukkan di dalam dua konvensi internasional yaitu Geneva Convention For Suppression of Counterfeiting Currency ( 1929 )
dan Geneva Convention for the Suppression on the Ilicit Trafic Drug ( 1936 ). Menurut
konvensi konvensi ini, negara negara peserta wajib menghukum, apabila di dalam
wilayahnya, terjadi persekongkolan persekongkolan tindak Pidana dan tindakan ikut
serta dengan sengaja dalam perbuatan Pidana perdagangan obat bius dimana pun
tindakan kejahatan akhir tersebut dilakukan, sebagaimana juga terhadap
percobaan untuk melakukan dan tindakan mempersiapkan kejahatan tersebut .
Prinsip
Teritorial Objectif ( Objective Teritorial
Principle ). Negara negara tertentu menerapkan yurisdiksi teritorial
mereka terhadap perbuatan Pidana atau perbuatan perbuatan yang dilakukan negara
lain, tetapi : Dilaksanakan atau diselesaikan di dalam wilayah negara
mereka ; atau Menimbulkan
akibat yang berbahaya terhadap
ketertiban sosial di dalam wilayah mereka .[13]
Dalam Hukum Pidana Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pidana
dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan
sesuatu tindak Pidana di Indonesia. Bahkan hukum Pidana Indonesia dapat berlaku
bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak Pidana di luar Indonesia.
Dengan demikian, hukum positif di Indonesia secara jelas menyatakan bahwa
segenap kejahatan yang terjadi di dalam wilayah Indonesia, hukum nasional Indonesia
yang diterapkan untuk menghukum pelaku kejahatan tersebut.
yurisdiksi Ekstrateritorial.
Tindakan suatu negara dapat memiliki akibat secara
ekstrateritorial yang nyata apabila negara tersebut meminta dipenuhinya suatu kewajiban oleh pihak asing yang berada
di luar negri. Perjanjian antara negara
dapat dilakukan untuk memberikan kewenangan pada negara peserta perjanjian
untuk saling mengakui secara timbal balik. Pengakuan secara timbal balik dilakukan
terhadap tindakan resmi yang dilakukan di bawah hukum negara peserta lainnya
dan mengambil tempat di nagara tersebut. Penerapan
yurisdiksi ekstrateritorial adalah sah sah saja sepanjang pelaksanaannya
mendapat persetujuan dari negara yang bersangkutan. Persetujuan tersebut
biasaanya di wujudkan dalam bentuk perjanjian.
Penerapan yurisdiksi Indonesia menurut hukum Internasional
di hubungkan dengan tindak Pidana Korupsi Transnasional.
Indonesia telah melakukan upaya upaya hukum untuk
mengatasi tindak Pidana korupsi ini, dengan membentuk peraturan peraturan sehingga
pelaku tindak Pidana Korupsi dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara
hukum. Permasalahan akan semakin kompleks apabila tersangka maupun pelaku
tindak Pidana korupsi tersebut melarikan diri keluar wilayah negara Republik Indonesia.
Hal ini karena suatu negara tidak dapat secara otomatis memaksakan ketentuan
hukumnya yang telah di rumuskannya, di luar wilayah negaranya. Atau dengan kata
lain Indonesia tidak dapat melakukan tindakan hukum atau yurisdiksi hukumnya di wilayah negara
lain karena hal tersebut merupakan yurisdiksi dan kewenaangan negara lain.
Negara Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorial
yang diakui oleh hukum internasional dan
asas teritorial objektif sebagai negara yang berwenang dalam menerapkan hukum Pidananya
atas si pelaku tindak Pidana korupsi yang dilakukan di dalam wilayah negaranya (
koruptor ) kemudian melarikan diri ke
wilayah negara lain. Tetapi penerapan yurisdiksi tersebut tidak dapat secara
otomotis dilakukan. Apabila suatu negara ingin menjalankan Yurisdiksi hukumnya
di suatu negara asing harus ada izin ataupun persetujuan dari negara yang bersangkutan.
Persetujuan atau izin tersebut dapat di wujudkan dalam
bentuk Perjanjian Bilateral antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan.[14]Perjanjian
dilakukan antara negara untuk saling mengakui secara timbal balik.[15]
Pengakuan secara timbal balik dilakukan terhadap tindakan resmi yang dilakukan
di bawah hukum Indonesia yang mengambil tempat
di negara asing. Dengan adanya perjanjian tersebut maka Indonesia dapat
menerapkan yurisdiksinya secara ekstrateritorial ( di wilayah negara lain )
sepanjang berkaitan dengan hal hal tertentu saja yang di setujui di dalam
perjanjian.
Tindak Pidana
korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak Pidana transnasional.
- Konvensi
Parlemo dan UNCAC
Seiring dengan perkembangan transportasi, seorang pelaku
kejahatan dapat dengan mudah melarikan diri keluar wilayah negaranya, tempat
dimana kejahatan tersebut dilakuan untuk menghindari pertanggungjawaban
terhadap kejahatan yang telah dilakukan. Penanganan masalah seperti ini harus
melibatkan negara terkait dan kerjasama dengan negara lain agar pelaku
kejahatan tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.
Menganggapi
masalah tersebut PBB berhasil merumuskan United
Nations On Transnasional Organised Crimes ( Parlemo Convention ) tanggal 17
Desember 1999, di Parlemo. Dari konvensi tersebut dapat dilihat bahwa makin banyak kejahatan yang digolongkan ke
dalam kejahatan transnasional. Kejahatan dibidang bisnis mulai di masukan ke
dalam kejahatan transnasional, misalnya korupsi dan pencucian uang. Sebagai
langkah lebih lanjut PBB dalam usahanya menanggulangi masalah korupsi, PBB kini
telah merumuskan United Nations Against
Corruption ( UNCAC ) pada tanggal 11 Desember 2003 di Metida, Mexico atau dengan
kata lain UNCAC merupakan lex specialis
dari Parlemo Convention. Menurut
konvensi ini Korupsi dipandang sebagai kejahatan yang sangat mempengaruhi
pembangunan ekonomi, kestabilan politik negara dan membawa kesengsaraan bagi
rakyat. Hal ini dapat dilihat dari Mukadimah UNCAC, yaitu sebagai berikut :
Negara-negara
Pihak pada Konvensi ini,
Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan
oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak
lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta
mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum,
Prihatin
juga atas hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk
lain kejahatan, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi,
termasuk pencucian uang,
Prihatin
lebih jauh atas kasus-kasus korupsi yang melibatkan
jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting dari sumber-sumber
Negara-negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang
berkelanjutan Negara-negara tersebut,
Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal tetapi
merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan
mengendalikannya sangat penting,
Meyakini
juga bahwa suatu pendekatan yang komprehensif dan
multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara
efektif,
Meyakini lebih lanjut bahwa keberadaan
bantuan teknis dapat memainkan peranan yang penting dalam meningkatkan
kemampuan Negara-negara, termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan
peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara
efektif,
Meyakini bahwa perolehan yang tidak sah atas kekayaan pribadi dapat secara khusus
merusak lembaga-lembaga demokrasi, sistem ekonomi nasional dan penegakan hukum,
Berketetapan
untuk mencegah, mendeteksi dan menghambat dengan cara yang lebih efektif atas
transfer internasional aset yang diperoleh secara tidak sah dan untuk
memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset,
Mengakui prinsip-prinsip dasar prosedur hukum dalam proses Pidana
dan perdata atau proses administratif untuk mengadili hak-hak atas
kekayaan,
Mengingat bahwa pencegahan
dan pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab semua Negara dan bahwa
mereka harus saling bekerjasama, dengan dukungan dan keterlibatan perorangan
dan kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat madani,
organisasi-organisasi non pemerintah, dan organisasi-organisasi berbasis
masyarakat apabila upaya-upaya mereka dalam bidang ini diharapkan efektif,
Mengingat juga prinsip-prinsip
pengelolaan yang layak atas urusan-urusan publik dan kekayaan publik, keadilan,
tanggung jawab dan kesetaraan di muka hukum dan kebutuhan untuk menjaga
integritas dan untuk meningkatkan budaya penolakan terhadap korupsi,
Isu isu yang penting dari konvensi tersebut adalah
bagaimana menjembatani perbedaan sistem hukum yang berlaku di negara negara
anggota demi memastikan setiap pelaku kejahatan dapat dihadapkan ke pengadilan
dimana pun dia berada. Pengaturan dalam UNCAC, mewajibkan setiap negara peserta
konvensi untuk membuat peraturan atau UU di setiap negara peserta untuk
mengatasi korupsi. Selain itu UNCAC dengan jelas menyebutkan bahwa untuk
mengatasi korupsi, dibutuhkan kerjasama internasional. Oleh karena itu, sudah
menjadi kewajiban setiap negara untuk turut bekerja sama dalam memberantas korupsi
baik melalui kerjasama interpol atau kerjasama lain.
Pengertian hukum Pidana
internasional adalah sebagai berikut :[16]
1) Hukum Pidana
internasional dalam arti ruang lingkup hukum teritorial hukum Pidana nasional.
2) Hukum Pidana
internasional dalam arti aspek internasional yang diterapkan sebagai ketentuan
dalam hukum Pidana nasional.
3) Hukum Pidana
internasional dalam arti kewenangan internasional yang terdapat di dalam hukum Pidana nasional.
4) Hukum Pidana
internasional dalam ketentuan hukum Pidana nasional yang diakui sebagai hukum
yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradap.
5) Hukum Pidana
internasional dalam arti kerjasama internasional dalam mekanisme administrasi
peradilan Pidana nasional.
6) Hukum Pidana
internasional dalam arti kata materil.
Pada
umumnya kejahatan transnasional adalah kejahatan yang memenuhi unsur unsur :[17] Tindakan
tersebut memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara; tindakan
tersebut melibatkan atau memberikan dampak
terhadap warga negara lebih dari satu
negara; Sarana dan prasarana serta metoda metoda yang dipergunakan melampaui batas batas teritotial suatu negara.Unsur
necessity yang termasuk dalam unsur unsur yang disebutkan di atas adalah :
kebutuhan akan kerjasama antar negara untuk melakukan penanggulangan.[18]
Syarat syarat suatu kejahatan dapat disebut sebagai
kejahatan internasional ialah : Tindakan tersebut dinyatakan secara tegas sebagai tindak Pidana
melalui hukum perjanjian internasional; Tindakan tersebut dikenal sebagai tindak Pidana melalui
kebiasaan dan prinsip prinsip umum Hukum Internasional.[19] Tindak Pidana
korupsi, apabila dianalisa dari pengertian, unsur dan syarat seperti yang di
jabarkan di atas, dan bila dianalisa secara textual dari UNCAC maka dapat di
kategorikan korupsi sebagai tindak Pidana
transnasional. Hal ini dapat di jabarkan sebagai berikut :
a. Secara
eksplisit dinyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan menurut hukum
internasional. UNCAC adalah perjanjian internasional yang dapat di kategorikan
sebagai sumber hukum internasional.[20]
Dalam UNCAC Korupsi adalah tindakan yang dilarang oleh konvensi internasional
meskipun tidak secara spesifik dikatakan bahwa tindakan tersebut adalah
kejahatan internasional.
b. Korupsi
membawa dampak kesengsaraan bagi rakyat. Salah satu akibat dari korupsi yang di
gariskan dalam UNCAC adalah terganggunya stabilitas dan keamanan masyarakat dan
merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan
keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.
c. Korupsi
merupakan masalah bersama bagi masyarakat internasional. Hal ini dapat di lihat
dalam mukadimah UNCAC yaitu sebagai berikut : Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal tetapi
merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan
ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan
mengendalikannya sangat penting,
d. Diperlukan
kerjasama internasional dalam menanggulangi korupsi , terutama dimana pelaku
tindak Pidana korupsi, melarikan diri ke luar negri dan menyembunyikan aset
aset hasil korupsinya di luar negri. Hal ini tercermin dalam Pasal Pasal dalam
UNCAC yaitu :
Pasal
1
Pernyataan Tujuan
Tujuan-tujuan Konvensi ini adalah:
(a) Meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk mencegah
dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif;
(b)
Meningkatkan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama
internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,
termasuk dalam pengembalian aset;
Pasal 43
Kerjasama internasional
- Negara-negara Pihak wajib bekerjasama dalam masalah-masalah Pidana sesuai dengan Pasal 44 sampai 50 dari Konvensi ini. Apabila tepat dan sesuai dengan sistem hukum nasional mereka, Negara-negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk membantu satu sama lain dalam penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata dan administratif yang berkaitan dengan korupsi.[21]
- Dalam hal kerjasama internasional, manakala kejahatan ganda / dual criminality dianggap sebagai suatu persyaratan, hal tersebut dianggap sebagai telah terpenuhi tanpa memperhatikan apakah undang-undang dari Negara Pihak yang diminta menempatkan suatu kejahatan ke dalam kategori yang sama dari kejahatan atau menyebut kejahatan tersebut dengan istilah yang sama seperti Negara Pihak yang meminta, apabila tindakan yang mendasari kejahatan untuk mana bantuan diminta merupakan kejahatan Pidana berdasarkan undang-undang kedua Negara Piha
Pasal 51
Ketentuan umum
Pengembalian aset-aset
berdasarkan bab ini merupakan prinsip dasar Konvensi ini, dan Negara-negara
Pihak wajib memberikan satu sama lain kerjasama dan bantuan seluas mungkin
dalam hal ini.
Upaya yang lakukan indonesia ( menurut
hukum internasional ) untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak Pidana
korupsi.
- UU No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No.20
Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan UNCAC.
Naskah Konvensi
PBB Anti Korupsi diterima oleh Majelis
Umum PBB dengan Resolusi 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003 setelah pembicaraan
yang dimulai semenjak tanggal 1 Januari 2002 hingga tanggal 1 Oktober 2003. Pada
saat ini telah terdapat banyak negara yang telah menjadi pihak dalam konvensi ini. Pada pokoknya Konvensi PBB mengenai anti korupsi ini berisi empat
materi pokok yaitu usaha-usaha pencegahan tindakan Korupsi, Kriminalisasi dari
tindakan korupsi, kerjasama internasional dalam rangka penanggulangan tindakan
Korupsi, serta pengembalian dari aset-aset. Pada dasarnya
UNCAC ini akan menguatkan komitmen Indonesia dalam rangka melakukan
pemberantasan tindak korupsi berdasarkan aturan hukum yang telah dimiliki oleh Indonesia,
yang termasuk di dalamnya untuk mendapatkan kembali asset-aset koruptor yang
ditempatkan di luar negeri. UNCAC ini terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh
yang mencakup 8 (delapan) bab dan 71 Pasal. Pembukaan dari konvensi ini
menekankan pada adanya suatu keprihatinan dari negara-negara di dunia mengenai
meningkatnya tindakan korupsi dan keharusan adanya suatu kerjasama
internasional mengenai pencegahan dan pemberantasan tindakan korupsi serta
pengembalian dari aset-aset yang ditempatkan di luar negeri.
Tujuan dari
konvensi ini sebagaimana tertera dalam Pasal 1 konvensi PBB Anti Korupsi ini,
sudah selaras dengan hukum dan kebijakan nasional Indonesia yang ada saat ini. Definisi
mengenai hal-hal dalam konvensi ini diberikan dalam Pasal 2 konvensi PBB Anti
Korupsi. Dalam Pasal
ini dijabarkan mengenai pengertian dari pejabat publik, pejabat publik asing,
perwakilan dari organisasi internasional publik, properti, tindak lanjut dari kejahatan, pembekuan atau penyitaan,
konfiskasi, kejahatan asal, dan pengiriman terkontrol. Sedangkan dalam UU No.
31 Tahun 1999, pengertian dari korupsi diberikan dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal
2 ayat 1 menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di Pidana dengan Pidana
penjara seumur hidup atau Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”. Sedangkan dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, diPidana dengan Pidana penjara seumur hidup atau Pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda
paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Hal yang harus diperhatikan bahwa
definisi yang diberikan dalam Konvensi PBB Anti Korupsi ini adalah perluasan
dari definisi yang ada dalam ketentuan nasional Indonesia khususnya mengenai
pengertian dari pejabat publik.
Bab II
yang terdiri dari Pasal 5 sampai dengan 14 berisikan ketentuan-ketentuan yang
mengatur upaya-upaya pencegahan Korupsi termasuk di dalamnya pengaturan
mengenai kode etik bagi pejabat publik (Pasal 8), pembelanjaan negara dan
pembiayaan, serta public reporting. Dalam pengaturan dalam bidang pencegahan
ini terdapat pula ketentuan mengenai masalah pengawasan yang sudah sejalan
dengan ketentuan nasional Indonesia karena saat ini Indonesia sudah memiliki
lembaga pengawasan keuangan publik seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan
Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (KPK) serta pengawasan secara
internal di tiap institusi (Pasal 10). Ketentuan di bidang pencegahan ini juga
mencakup pengawasan di bidang privat atau swasta yang dapat melengkapi ketentuan hukum
nasional karena saat ini ketentuan hukum nasional Indonesia mengenai masalah
pengawasan swasta masih bersifat sektoral dan Individual misalnya untuk
perusahaan terbuka terdapat UUPT dan aturan-aturan Bapepam, dan untuk perbankan
terdapat UU Perbankan (Pasal 12).
Pasal
13 dari konvensi ini memberikan ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah akses
masyarakat terhadap informasi serta partisipasi masyarakat dalam rangka upaya
pencegahan korupsi hal ini sudah selaras dengan Pasal 41 dan 42 UU No. 31 tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 14 mengatur mengenai
tindakan pencegahan pencucian uang. Substansi dari Pasal ini telah sejalan
dengan isi dari UU No. 15 tahun 2002
tentang tindak Pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No. 15 tahun 2002
tentang Pencucian Uang dimana dalam ketentuan hukum nasional Indonesia tersebut
terdapat ketentuan untuk mendirikan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan) yang merupakan lembaga pengawas untuk tindakan pencucian
uang yang di dalamnya mengenal prinsip-prinsip kehati-hatian dan pelaporan
transaksi keuangan yang mencurigakan.
Bab III dari
konvensi ini terdiri dari Pasal 15 sampai dengan Pasal 42, memberikan ketentuan
mengenai tindakan-tindakan dimana negara-negara pihak diwajibkan untuk
membentuk ketentuan nasional yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan tersebut
adalah sebuah kejahatan. Serta menjatuhkan sanksi pada Tindakan-tindakan tersebut adalah penyuapan
dan penerimaan dana serta keuntungan oleh pejabat publik dan pejabat publik
asing , penggelapan dan penyalahgunaan hal milik oleh pejabat publik,
menyalahgunaan kekuasaan, memperkaya diri sendiri, penyuapan di sektor swasta,
penggelapan di sektor swasta, pencucian hasil kejahatan, penyembunyian,
Penghalangan jalannya proses pengadilan. Konvensi ini juga mengatur mengenai
masalah tanggung jawab badan hukum, serta dapat pula menjerat pihak-pihak yang
ikut serta atau hanya melakukan percobaan dari tindakan-tindakan di atas.
Setelah mengatur
mengenai tindakan-tindakan yang harus dianggap sebagai kejahatan, konvensi ini
juga juga memberikan batasan-batasan tentang tata cara pelaksanaan penuntutan,
pengadilan, termasuk di dalamnya pembatasan waktu, perlindungan terhadap saksi,
perlindungan terhadap pelapor, pelaksanaan kerjasama badan-badan penegakan
hukum serta kerjasama antar badan berwenang nasional, dan mengenai masalah
kerahasiaan bank, yang kesemuanya ini tetap harus dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum nasional negara pihak yang bersangkutan (Pasal 28-Pasal 42).
Bab IV dari
konvensi ini mengatur mengenai masalah kerjasama internasional mengenai masalah
pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang di dalamnya termasuk masalah-masalah
Ekstradisi (Pasal 44), Transfer NaraPidana (Pasal 45), Bantuan Hukum Timbal
Balik (Pasal 46), transfer naraPidana (Pasal 47), Kerjasama penegakan hukum (Pasal
48), Penyidikan bersama (Pasal 49), serta dikenalkannya teknik-teknik
penyidikan khusus (Pasal 50). Masalah pengembalian aset terdapat dalam bab V
dari konvensi ini yang terdiri dari Pasal 51 sampai dengan Pasal 59. Masalah
ini merupakan salah satu masalah yang dirasakan sangat penting bagi negara
kita. Dalam konvensi ini terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan
masalah pengembalian aset ini yaitu: Tindakan pencegahan dan deteksi
transfer-transfer hasil-hasil kejahatan (Pasal 52).
Tindakan-tindakan
untuk pengembalian langsung atas kekayaan yang terdiri dari pengizinan negara
pihak lain untuk mengajukan gugatan perdata dalam rangka mendapatkan kembali
aset-asetnya, mengizinkan pengadilannya untuk memerintahkan mereka yang
melakukan kejahatan yang ditetapkan oleh konvensi ini untuk membayar ganti rugi
kepada negara pihak lain yang dirugikannya, serta untuk mengizinkan
pengadilannya, bilamana harus memutuskan untuk melakukan perampasan, untuk
mengakui tuntutan negara lain sebagai pemilik sah dari kekayaan yang diperoleh
melalui pelaksanaan kejahatan yang diatur oleh konvensi ini (Pasal 53).
Mekanisme untuk
pengembalian kekayaan melalui kerjasama internasional dalam hal perampasan juga
diatur dalam konvensi ini (Pasal 54 dan Pasal 55). Konvensi ini juga
memungkinkan adanya kerjasama-kerjasama khusus mengenai masalah pengembalian
aset ini (Pasal 56). Konvensi ini juga mengatur mengenai tata cara pengembalian
aset dan penyerahan ase yang diatur dalam Pasal 57 Konvensi ini. Selain itu
diatur pula mengenai masalah unit interlijen keuangan (Pasal 58) serta
mengusulkan diantara negara-negara pihak diadakan perjanjian-perjanjian baik
bilateral maupun multilateral untuk meningkatkan efektifitas kerjasama
internasional khususnya mengenai masalah pengembalian aset ini (Pasal 59).
Bab VI yang terdiri
dari Pasal 60, Pasal 61 dan Pasal 62 mengatur mengenai bantuan teknis dan
pertukaran informasi diantara negara-negara pihak. Yang termasuk didalamnya
pelatihan dan bantuan teknis, juga pengumpulan, pertukaran dan analisa
informasi dari tindak korupsi. Bab VII yang terdiri dari Pasal 63 dan Pasal 64
konvensi ini, mengatur mengenai masalah mekanisme pelaksanaan dari konvensi
ini.
Konvensi PBB Anti Korupsi.
Terdapat empat isu penting dari Konvensi PBB Anti Korupsi ini yaitu
usaha-usaha pencegahan tindakan Korupsi, Kriminalisasi dari Tindakan Korupsi,
Kerjasama Internasional dalam rangka penanggulangan tindakan Korupsi, serta
pengembalian dari aset-aset yang ditempatkan di luar negeri.Masalah pencegahan ini berkaitan masalah kebijakan negara untuk mencegah
terjadinya tindakan korupsi termasuk di dalamnya pembentukan badan anti korupsi
(hal ini telah dilakukan di Indonesia dengan UU No. 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian diatur dengan lebih spesifik
dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi),
serta transparansi dalam bidang keuangan publik.
Berkaitan dengan masalah pencegahan ini terdapat pula pengaturan mengenai
pejabat publik dan kode etiknya. Di Indonesia masalah ini tidak diatur secara
terpusat, tetapi perbidang sesuai dengan profesinya misalnya kode etik untuk
PNS serta Kode etik bagi pejabat di bidang legislatif yang diatur secara
terpisah. Masalah pencegahan ini juga mengatur masalah
pengaturan di bidang swasta yang di Indonesia juga masih diatur secara terpisah
sesuai masing-masing bidang. Masalah pencegahan ini juga mengatur masalah peran
serta masyarakat untuk mendapatkan informasi atau melakukan pencegahan
terjadinya korupsi.
Masalah kedua yaitu kriminalisasi, mewajibkan negara-negara pihak untuk
menganggap tindakan-tindakan yang diatur dalam konvensi ini sebagai tindak
kehatan sebagai sebuah kejahatan dalam ketentuan hukum nasionalnya serta untuk
menjatuhkan sanksi atas tindakan-tindakan tersebut berdasarkan ketentuan hukum
nasionalnya tersebut. Mengenai masalah yang kedua ini tidak terdapat suatu
masalah karena Indonesia telah mempunyai dua buah ketentuan hukum nasional
mengenai masalah korupsi ini yaitu UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah oleh UU No. 20 tahun 2001. Masalah ketiga adalah masalah kerjasama internasional dimana dalam konvensi
ini negara-negara pihak menyetujui untuk melakukan kerjasama dalam usaha-usaha
pemberantasan Tindak Korupsi ini yang meliputi pencegahan, penyidikan dan
pengadilan bagi pelaku kejahatan korupsi ini. Negara-negara pihak juga
diwajibkan untuk membentuk sebuah Mutual Legal Assistance (MLA) dalam
pengumpulan dan penyerahan bukti-bukti yang dipergunakan di pengadilan, untuk
mengekstradisi, serta mengambil langkah-langkah untuk melacak, membekukan,
mendapatkan dan merampas hasil kejahatan tersebut. Walaupun demikian kerjasama
internasional dalam bentuk Ekstradisi,
Transfer NaraPidana, Bantuan Hukum Timbal Balik, transfer naraPidana, Kerjasama
penegakan hukum, Penyidikan bersama, serta dikenalkannya teknik-teknik
penyidikan khusus tetaplah harus berdasarkan ketentuan hukum nasional sehingga
tetap tidak menjadi penghalang dalam meratifikasinya.
Masalah keempat yang merupakan salah satu masalah yang amat penting bagi Indonesia
adalah masalah pengembalian aset-aset hasil kejahatan yang ditempatkan di luar
negeri. Hal ini merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi ini, dan ini
menjadi amat penting karena sering kali korupsi telah menimbulkan kerugian
negara dalam jumlah yang amat besar dimana dana tersebut sebenarnya amat
diperlukan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dengan diangkatnya
masalah pengembalian aset ini maka aset-aset hasil kejahatan yang ditempatka di
luar negeri dapat diperoleh kembali oleh negara pihak yang dirugikan. Selain
itu terdapat suatu permasalahan, yaitu persyaratan dual criminality untuk masalah ini. Tetapi dengan diangkatnya
masalah ini kedalam konvensi ini, maka dianggap syarat tersebut telah terpenuhi
asalkan baik negara peminta atau yang diminta adalah sama-sama negara pihak
dari konvensi ini.
Kerjasama internasional yang dilakukan Indonesia
dalam menangani masalah korupsi.
Berdasarkan UNCAC kerjasama
internasional mengenai masalah pemberantasan tindak Pidana Korupsi dapat di
wujudkan dalam bentuk Ekstradisi, Transfer NaraPidana, Bantuan Hukum Timbal
Balik, transfer naraPidana, Kerjasama penegakan hukum, Penyidikan bersama,
serta dikenalkannya teknik-teknik penyidikan khusus.
Ekstradisi.
Definisi Ekstradisi:menurut Pasal 1 Undang – Undang Nomor
1 tahun 1979 : “Ekstradisi adalah penyerahan atas seseorang yang disangka atau
diPidana karena melakukan suatu tindak Pidana, yang dilakukan oleh suatu negara
kepada negara peminta. Sedangkan menurut Black Law
Dictionary : “The surrender by one state
or country to another of an individual accused or convicted of an offense
outside its own territory and within the territorial jurisdiction of the other,
which, being competent to try and punish him, demands the surrender”. Ekstradisi hanya
berkaitan penyerahan seorang pelaku kejahatan dari suatu negara ke negara lain.
Dengan demikian, perjanjian ekstradisi tidak dapat digunakan oleh suatu negara
untuk maksud –maksud selain penyerahan orang, seperti mendapatkan barang bukti
atau hasil suatu kejahatan ( Melalui MLA). [22] Saat
ini Indonesia sudah mempunyai beberapa perjanjian ekstradisi dengan beberapa
negara yaitu :
- Perjanjian ekstradisi antara RI dan Philipina : Ditandatangani tanggal 10 Februari 1976. Diratifikasi dengan UU No. 10 tahun 1976 tanggal 26 Juli 1976.
- Perjanjian ekstradisi RI – Thailland : Ditandatangani tanggal 29 Juni 1976. Diratifikasi dengan UU No. 2 tahun 1978
- Perjanjian ekstradisi RI – Australia Ditandatangani tanggal 22 April 1992. Diratifikasi dengan UU No. 8 tahun 1994.
- Perjanjian Ekstradisi RI- hongkong : Ditandatangani tanggal 5 Mei 1997. Diratifikasi dengan UU No. 1 tahun 2001 RI – South Korea Ditanda tangani tanggal 28 November 2000 Dan Sedang dalam proses ratifikasi
- Perjanjian Ekstradisi antara RI- Malaysia : Ditandatangani pada tanggal 7 Juni 1974. Diratifikasi dengan UU No. 9 tahun 1974 tanggal 26 Desember 1974.
Mutual Legal
assistance.
Ekstradisi hanya berkaitan penyerahan seorang pelaku
kejahatan dari suatu negara ke negara lain. Dengan demikian, perjanjian
ekstradisi tidak dapat digunakan oleh suatu negara untuk maksud –maksud selain
penyerahan orang, seperti mendapatkan barang bukti atau hasil suatu kejahatan.
Upaya suatu negara untuk memperoleh barang bukti atau
menarik kembali barang hasil kejahatan hanya dapat dilakukan mekanisme melalui Mutual Legal Assistance (MLA). MLA pada
dasarnya suatu mekanisme formal dimana suatu negara dapat meminta negara lain
untuk memberikan bantuan guna suatu penyidikan, penuntutan, pengadilan suatu
perkara Pidana. Walaupun tunduk pada prinsip-prinsip hukum yang sama, MLA
sangat berbeda dengan ekstradisi. MLA sama sekali tidak menyangkut dengan
“penangkapan” atau “penyerahan” seseorang. MLA lazimnya meliputi, antara lain,
bantuan untuk menyampaikan barang bukti, pemeriksaan saksi, pengeledahan,
penyitaan, dan pengembalian barang (harta) hasil kejahatan.
Transfer Nara Pidana.
Pengertian TSP adalah salah satu bentuk kerjasama antar
negara di bidang hukum selain ekstradisi (extradition)
dan bantuan hukum timbal balik dalam perkara Pidana (mutual legal assistance in criminal matters / MLA). Dalam TSP,
suatu negara (administering state)
meminta bantuan negara lain (sentencing
state) untuk memindahkan seorang narapidana untuk menjalani hukuman yang
telah di jatuhkan atas naraPidana tersebut di administering state. TSP tidak dapat diartikan sebagai pertukaran
naraPidana (exchange of prisoners)
yang biasanya terkait dengan tahanan perang (prisoners of wars / POW) yang mana biasanya dilaksanakan secara
resiprokal dengan jumlah tahanan yang sama atau senilai. TSP adalah upaya
memindahkan naraPidana yang dilakukan atas dasar kasus per kasus dan sesuai
dengan kepentingan negara pada saat itu yang tidak selalu bersifat
resiprokal.TSP dilatarbelakangi oleh pertimbangan kemanusiaan dan HAM. Pertimbangan
bahwa naraPidana akan lebih nyaman bila menjalankan hukumannya di negara asal
karena lebih dekat dengan keluarga dan budaya merupakan dasar negara-negara
membentuk Perjanjian TSP satu sama lainnya. Namun demikian, pertimbangan
tersebut bukan satu-satunya faktor agar suatu negara membentuk Perjanjian TSP.
Pertimbangan sistem hukum turut mewarnai problematika pembentukan Perjanjian
TSP.
Prinsip-prinsip Hukum TSP: Ada beberapa prinsip-prinsip
hukum yang selalu digunakan oleh negara-negara dalam mempraktekan TSP, yakni:[23]
- TSP dilakukan berdasarkan suatu Perjanjian. Namun tidak menghalangi suatu negara untuk memindahkan seorang narapidana tanpa adanya suatu Perjanjian tersebut.
- Adanya suatu kesepakatan (consent ) antara administering state dan sentencing state. Kemudian, narapidana yang akan dipindahkan memberikan persetujuannya (consent). Narapidana tersebut pun masih memiliki hak untuk menolak dipindahkan
- Sang Narapidana merupakan warganegara administering state.
- Putusan yang dijatuhkan atas narapidana tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (final) dan mengikat (binding).
- Sisa hukuman yang harus dijalani oleh narapidana tersebut di administering state adalah minimal 6 (enam) bulan. Dan narapidana tersebut telah menjalani sebagian besar hukuman tersebut di sentencing state.
- Pelaksanaan putusan setelah dipindahkan dapat dilakukan dengan berkelanjutan (continued enforcement) atau dikonversikan (conversion of sentence). Yang menentukan apakah hukuman tersebut continued maupun converted adalah sistem hukum administering state, kecuali dalam perjanjian ditentukan lain.
- Narapidana yang telah dipindahkan dapat diberikan ampunan (pardon), amnesty (amnesty), atau dikomutasikan (commutation). Yang menentukan apakah narapidana tersebut dapat diberikan pardon, amnesty, maupun commutation adalah sistem hukum administering state, kecuali dalam perjanjian ditentukan lain.
Kesimpulan.
- Negara Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorial yang diakui oleh hukum internasional dan asas teritorial objectif ( hukum Pidana ) sebagai negara yang berwenang dalam menerapkan hukum Pidananya atas si pelaku tindak Pidana korupsi yang dilakukan di dalam wilayah negaranya ( koruptor ) kemudian melarikan diri ke wilayah negara lain. Tetapi penerapan yurisdiksi tersebut tidak dapat secara otomotis dilakukan. Apabila suatu negara ingin menjalankan Yurisdiksi hukumnya di suatu negara asing harus ada izin ataupun persetujuan dari negara yang bersangkutan. Persetujuan atau izin tersebut dapat di wujudkan dalam bentuk Perjanjian Bilateral antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
- Upaya yang kini dilakukan oleh Indonesia dalam memberantas korupsi adalah Indonesia Indonesia telah mempunyai sejumlah peraturan yang substansinya selaras dengan isi dari konvensi ini yaitu UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang, dan UU No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang.
- Sedangkan kerjasama internasional yang dilakukan Indonesia dalam rangka memberantas tindak Pidana korupsi adalah dengan mengadakan perjanjian Ekstradisi , MLA, TSP dengan negara negara asing yang terkait.
Alumni Fakultas Hukum Trisakti Jurusan Hukum Internasional
Alumni Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Jurusan Hukum Internasional
[1] Rena Yulia Nuryani , Upaya
Penegakkan hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Syiar Mandani,
Jurnal hukum , Vol VII no 1 Januari 2005. Fakultas Hukum Unisba.
[2] Kamus Hukum Fockema Andreae, ( Bandung ; Bina Cipta , 1983 ) huruf
c terjemahan Bina Cipta.
[3] Romli Atasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Bandung ; CV. Utomo. 2004, hlm ix.
[4] Wasingastu Zakiyah, Komisi
Anti korupsi; Garda Terakhir Pemberantasan Korupsi , Teropong Vol I No 8, Oktober
2002 ,Hlm 12.
[5] Andi Hamzah, Pemberantasan
Korupsi Melalui Pidana Nasional Dan Internasional, Pt Raja Grafindo Persada
, Jakarta hal
11- 23.
[6] Tien Saefullah , Hubungan
Antara yurisdiksi Universal Dengan Kewajiban Negara Berdasarkan Prinsip Aut Prepare Aut Juducate
Dalam Tindak Pidana Penerbangan Dan Implementasinya di Indonesia, Jurnal
Hukum Internasional Unpad Vol I/ I / 2002.
[7] Arti kedaulatan
pada dasarnya :
§ Kekuasan yang tertinggi yang hanya dimiliki
oleh negara.
§ Kekuaaaan negara yang digunakan negara
untuk membuat aturan aturan hukum yang berlaku di wilayahnya.
§ Kekuasaan yang digunakan untuk membuat lembaga lembaga
negara.
§ Kedaulatan tereleksikan pada kekuasaan
negara untuk mengadakan hubungan internasional dan tindakan tindakan lain
sebagai perwujudan dari kedaulatannya.
[8] Yurisdiksi ini dapat kita lihat
di dalam kasus Lotus Case dimana
terdapat pernyataan : only limited
circumstances does international law allow a state to exercise jurisdiction
over foreign ship passing trough its territorial waters or on high seas.
[9] D.W Greig, International Law,
Second edition , Butterworth, London
1976. Hlm 210.
[10] D.W Bowet, Jurisdiction : Changing
Patterns of Authority Over Activities and Resources, The Structure and Process
of international law : Essays In legal Philosopy Doctrine and Theories :
R.ST. J. Mac Donal and Douglas .M. Johnston Eds, Martinus Nijhoff Publisher , Netherlands
1986, Hlm 566 – 567.
[11] Un General Assembly atau
sering disingkat Mejelis Umum PBB adalah salah satu organ utama PBB. Mejelis
Umum ini beranggotakan seluruh negara negara anggota PBB.Tugas dari pada
Mejelis Umum dapat dilihat dalam UN Charter yaitu meningkatkan kerja sama internasional dalam
bidang politik , peningkatan pembangunan hukum internasional secara progresif
dan pengkodifikasinnya . Dan meningkatkan kerjasama internasional dalam bidang
ekonomi , sosial dan budaya , pendidikan , kesehatan dalam rangka realisasi hak
asasi serta kebebasan untuk semua. Ade Maman Suherman ,Hukum organisasi internasional dan
Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum Dan GloBalisasi. Hal 115-116.
[12] Prinsip ini didukung oleh
pernyataan hakim Lord Mac Milian yang berbunyi : “it’s a essential attribute of the sovereignty pf this realm , as of
all sovereign independent states , that it should posses jurisdiction over all
persons and things within its territorial limits and in all causes civil and
criminal arising within these limits “. J.G Starke ., Hal 271.
[13] Profesor Hyde memberi pengertian yurisdiksi dengan prinsip tersebut
sebagai berikut : The setting in montion
outside of a state which produces as a direct consequences an injuries effect
there in justifies the territorial sovereign in prosecuting the actor when he
enters its domain “ Ibid,. Hlm 273.
[14] Perjanjian ditinjau dari segi jumlah negara negara yang menjadi
pihak atau pesertanya dibedakan sebagai berikut : a) perjanjian internasional
bilateral , yaitu suatu perjanjian internasional yang pihak pihak atau negara peserta yang
terikat dalam perjanjian tersebut adalah dua pihak atau dua negara saja. B)
perjanjian internasional multilateral ,yaitu suatu perjanjian yang pihak
pihaknya atau negara negara yang menjadi peserta dalam perjanjian tersebut
adalah lebih dari dua .c) perjanjian regional adalah yaitu suatu perjanjian
yang pihak pihanya atau negara negara yang menjadi peserta dalam perjanjian
tersebut berasal dari suatu region / wilayah tertentu saja. Jika dilihat dari
para pihaknya Perjanjian ekstradisi adalah
jenis perjanjian bilateral,I Wayan Parthiana ,Hukum Perjanjian
Internasional. Bandar Maju, Bandung,
2002. Hal 40
[15] Pengakuan merupakan perbuatan hati hati yang dapat dilakukan oleh
suatu negara di saat yang dikendakinya dan dalam bentuk yang ditentukan secara
bebas. Pengakuan negara adalah pernyataan dari suatu negara yang mengakui
negara lain sebagi subjek hukum internasional. Sebagai akibatnya, negara
tersebut tituler dari semua wewenang dan dapat melaksanakan perbuatan perbuatan
dalam hubungan antara negara negara sesuai dengan hukum internasional.
Pengakuan secara kolektif biasanya diwujudkan dalam suatu perjanjian yang
bersifat bilateral atau konvensi
multilateral[15]
Boer Mauna , Hukum Internasional , Pengertian , Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Penerbit PT Alumni bandung , 2005. Hal 65.
[16] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Refika Aditama,
Bandung , September 2000, hal 21.
[17] Ibid, Hal 46-47.
[18] Ibid, Hlm 47.
[19] Prinsip prinsip umum hukum internasional adalah prinsip prinsip
umum hukum yang berlaku di seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara
negara. Walaupun hukum nasional berbeda antara satu negara dengan negara
lainnya namun pada prinsipnya tetap sama. Prinsip prinsip umum yang diambil
dari sistem sistem nasional ini dapat mengisi kekosongan yang terjadi dalam
hukum internasional.
[20] Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional
menetapkan sumber hukum internasional yang digunakan oleh Mahkamah
Internasional untuk mengadili perkara. Sumber sumber hukum internasional tersebut adalah
:
1.Konvensi konvensi
internasional baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.
2.Kebiasaan kebiasaan
internasional, yang terbukti telah merupakan praktek praktek umum yang
diterima sebagai hukum.
3.Prinsip prinsip hukum
yang diakui oleh bangsa bangsa yang beradap.
4.keputusan keputusan hakim
dan ajaran ajaran para ahli hukum yang terpandang dari berbagai negara sebagai bahan pelengkap untuk penentuan
peraturan hukum.
[21] kerjasama dalam masalah-masalah Pidana sesuai dengan Pasal 44 sampai 50
dari Konvensi ini adalah dengan cara ekstradisi, Transfer NaraPidana dan
bantuan hukum timbal balik serta penyidikan
bersama..
[22] Direktorat Perjanjian Politik , Keamanan
dan Wilayah, Kerjasama Ekstradisi, Departemen luar negri, Jakarta , 2006.
[23] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar