Rabu, 13 Agustus 2014

Pemberantasan Korupsi Transnasional Melalui Kaidah Kaidah Hukum Pidana Internasional

Korupsi adalah penyalahgunaan jabatan, wewenang dan kekuasaan yang dimiliki untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum sehingga dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Akan tetapi disisi lain, tindak Pidana korupsi semakin luas dan tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah  merupakan pelanggaran terhadap hak hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.[1] Menurut  Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa latin  corruptio atau corruptus ( Webster student dictionary ; 1960 ). Selanjutnya disebutkan bahwa corruption itu berasal pula dari asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. [2] Dari bahasa latin itulah turun ke banyak bahasa  Eropa seperti Inggris , yaitu corruption, corrupt; prancis , yaitu corruption dan Belanda yaitu corruptie. Kita dapat memberanikan diri bahwa bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa Indonesia yaitu korupsi.
Arti harafiyah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah seperti yang dibaca dalam The Lexican Webster Dictionary : Corruption : the act of corrupting or the state of being corrupt ; putrefactive decomposition, putrid matter ; moral perversion ; depravity, perversion of integrity ; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity ; debasement, as of a language ; a debased form of a word’’ ( the lexicon 1978 ).
Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia itu, disimpukan dalam kamus umum bahasa Indonesia; korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.Korupsi merupakan satu dari tiga isu nasional yang sering menjadi bahan diskusi baik pada tingkat nasional maupun internasional selain pelanggaran hak asasi manusia ( HAM ) berat ( gross violation of human rights ) dan masalah terorisme. Ketiga isu tersebut kini sudah diatur dalam Konvensi Konvensi internasional yang relevan dan juga sudah dikriminalisasikan dalam undang undang nasional seluruh negara termasuk Indonesia. Oleh karena itu dikatakan bahwa tiga isu kejahatan internasional ( Triangle internastional Crimes ) tersebut merupakan ”Internasional symbol of evil” dalam abad 21. Ketiga internasional crimes tersebut merupakan degradasi perubahan dunia ( global civilization ) dan sangat merusak kemanusiaan di semua negara karena ketiganya memiliki dampak dan bertanggungjawab atas terjadinya kemiskinan ( poverty ), ketidakberdayaan ( powerless ) dan kerusakan fisik, psikologis dan budaya bangsa bangsa di dunia.[3]Menurut Political and Economical Risk Consultancy ( badan independent yang mengamati dan meneliti perkembangan politik dan perekonomian ), Indonesia merupakan negara yang tingkat korupsinya sangat tinggi. Hal ini terjadi karena di dukung hal hal sebagai berikut :[4]
  • Didalam beberapa titik kinerja korupsi semakin demokratis dipraktekkan di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
  • Kelemahan Institusi terutama pada aparat hukum
  • Rendahnya kepercayaan masyarakat yang menyebabkan tidak berjalannya law enforcement.
    Ada beberapa pendapat mengapa orang melakukan korupsi di Indonesia. Berbagai pendapat telah dilontarkan, ditambah dengan pengalaman pengalaman selama ini, kita dapat berasumsi atau hipotesis misalnya sebgai berikut :[5]
1.  Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat.
Kurangnya gaji dan pendapatan pegawai negri memang faktor yang paling menonjol dalam arti yang merata dan meluasnya korupsi di Indonesia. Hal ini juga dikemukakan oleh Guy J. Pauker dalam tulisannya yang berjudul ”Indonesia 1979 ; The Record Of Three Decades ( Asia Survei Vol XX No 2, 1980 ; 123 ) sebagai berikut; ’’Although corruption is widespread in Indonesia as a means of supplementing excessively low government salaries , the recourses of the nations are not being used primarily for  the accumulation of vast private fortunes, but economic development and some extent, for welfare.’’
2.  Manajemen yang kurang baik dan control yang kurang efisien.
3. Penyebab korupsi adalah modernisasi. Penyebab modernisasi dapat meningkatkan korupsi, karena :
·        Modernisasi membawa perubahan perubahan pada kebutuhan dasar atas masyarakat.
·      Modernisasi juga mengembangkan korupsi karena modernisasi membuka sumber sumber   kekayaan dan kekuasaan baru.
     Indonesia telah melakukan upaya upaya hukum untuk mengatasi tindak Pidana korupsi ini, dengan membentuk peraturan peraturan sebagaimana tersebut di atas sehingga pelaku tindak Pidana korupsi dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Namun dalam pelaksanaannya, banyak kasus korupsi yang perkaranya tidak dilanjutkan dan tidak ada tindak lanjut ataupun putusan akhir dari kasus korupsi tersebut. Permasalahan akan semakin kompleks apabila tersangka maupun pelaku tindak Pidana korupsi tersebut melarikan diri keluar wilayah negara republik Indonesia. Penggunaan hukum internasional dalam hal ini kaidan kaidah hukum Pidana internasional merupakan salah satu jalan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak dapat melakukan tindakan hukum  atau yurisdiksi hukumnya di wilayah negara lain karena hal tersebut merupakan yurisdiksi dan kewenangan negara lain. Apabila suatu negara ingin menjalankan Yurisdiksi hukumnya di suatu negara asing harus ada izin dari negara yang bersangkutan

YURISDIKSI.
Definisi yurisdiksi.
Jurisdiction atau Yurisdiksi adalah suatu konsep hukum yang berkaitan tentang bagaimana suatu negara menerapkan kekuasaannya (power) untuk mengatur rakyat dan properti-nya serta berkaitan erat dengan prinsip-prinsip kedaulatan (sovereignty), kesamaan (equality) dan non-intervensi dalam masalah dalam negeri suatu negara. Yurisdiksi dapat diartikan juga sebagai  kewenangan suatu negara untuk  menerapkan ketentuan ketentuan hukum ( yurisdiction to prescribe ) dan menegakkan ketentuan ketentuan hukum nasionalnya ( yurisdiction to enforce). Dengan yurisdiction to prescribe, suatu negara bebas untuk merumuskan, juga menyatakan bahwa ketentuan hukumnya berlaku secara ekstrateritorial. Sedangkan yurisdiction to enforce, suatu negara tidak dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukumnya yang telah di rumuskannya, di luar wilayah negaranya. Hal ini di sebabkan oleh asas par in parem non habet imperium yang melarang suatu negara yang berdaulat memaksakan tindakan kedaulatan di dalam wilayah lain.[6]Asas ini mengakui kedaulatan suatu negara adalah sama.[7] Wewenang suatu negara untuk melaksanakan yurisdiksinya ini meliputi baik bidang hukum publik maupun hukum perdata.
Hukum internasional sendiri mendenotasikan yurisdiksi dalam dua arti : yang pertama mengarah pada kompetensi / wewenang dari pengadilan untuk memutuskan perkara. Dilain pihak, yurisdiksi  berarti hak / kewenangan  suatu negara untuk mengatur warganegaranya atau objek  di wilayahnya.[8] Menurut D.W Greig : ” Jurisdiction is  a primary territorial, a state has jurisdiction over persons and things and over events occurring within its territory  and extension of its law  to certain events occurring outside that territory.’’[9] Secara umum dapat dikatakan bahwa yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi  hukum negara terhadap benda atau peristiwa hukum. Dalam Blacks Law Dictionary, disebutkan bahwa “ Jurisdiction is a governments general power to exercise authority over all persons and things within its territory.’’ Ian Browlie menyatakan bahwa yurisdiksi adalah suatu akibat utama adanya kedaulatan dan persamaan derajat negara negara ( equality of states ) yang Prima Facie Eksklusif  terhadap wilayah dan populasi permanen terakhir  yang tinggal dalam wilayah tersebut.
Pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi mengandung dua pembatasan penting , yaitu : kekuasaan itu terbatas pada batas wilayah negara yang memiliki kekuasan itu; Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain di mulai.Di dalam hukum internasional, kedaulatan negara adalah sama. Akibatnya negara negara dilarang melakukan intervensi kedalam wilayah negara lain. Tiga prinsip yang relevan dalam kaitannya dengan yurisdiksi yaitu :[10]
1.  Equality Of States. Doktrin persamaan kedaulatan ini memiliki implikasi yang jelas terhadap yurisdiksi formulasi baru  dan prinsip persamaan hak dalam ” Decklaration on Principles of International Law Concering Friendly Relations and Cooperation Among States’’ ( 1970 ).  Deklarasi ini memberikan masukan tentang batasan batasan yang mungkin di hasilkan dari doktrin ini. Hal ini mengacu pada negara negara untuk bebas menentukan tanpa intervensi negara lain, status politiknya dan pelaksanakan pembangunan ekonomi, sosial dan budaya mereka.
2.   The Principle Of Non Intervention. Dalam deklarasi 1970, disebutkan : ‘’ No state..has the rights to intervene , directly and in directly for any reasons, whatever in the internal  or external affairs of any other states….every site has an indionable rights to choose its political , economic , social and cultural systems without interference in any form by another state.” Prinsip ini juga didukung oleh Deklarasi Majelis Umum PBB Nomor 2131 tanggal 21 Desember 1965 yang berisi :[11]
  • No state has the right to intervene directly or indirectly for any reasons whatever in the internal or external affair of any other state
  • No state may use or in courage the use of economic, political , of any other type of measures to coerce  another state in order to obtain form it  subordination of the exercise of its sovereign rights to secure  from advantages of any kind…
  • Ever state has inalienable rights to choose its political, economic, social and cultural systems without interference in any form by another states.
Berkaitan dengan masalah yurisdiksi maka hukum internasional memberikan dua aturan dasar yaitu : Tidak ada suatu negara pun diperbolehkan untuk melaksanakan kedaulatannya di dalam wilayah negara lain tanpa persetujuan dari negara yang bersangkutan ; Merupakan suatu prinsip yang diterima secara umum bahwa suatu negara tidak boleh melaksanakan yurisdiksinya atas orang, benda dan tindakan di luar wilayahnya tanpa suatu hubungan yang jelas. Hal di atas jelas menunjukan bahwa suatu negara tidak diperbolehkan melaksanakan yurisdiksinya di wilayah negara lain tanpa persetujuan dari negara yang  bersangkutan. Apabila seorang warga negara melarikan diri keluar negri karena warga negara tersebut melakukan tindak Pidana korupsi maka suatu negara tidak boleh melaksanakan yurisdiksinya atas orang, benda ( aset hasil korupsi ) dan melakukan tindakan tindakan di luar wilayah Indonesia untuk menangkap pelaku tindak Pidana korupsi, tanpa adanya hubungan yang jelas dan tanpa bukti bukti yang kuat yang dapat dijadikan acuan bagi tindakan yang akan diambil.
Dalam prakteknya, yurisdiksi dapat dibedakan antara yurisdiksi Pidana dan yurisdiksi perdata. Yurisdiksi Pidana adalah kewenangan  ( hukum ) pengadilan suatu negara terhadap perkara yang menyangkut kepidanaan baik yang di dalamnya terdapat hukum asing maupun nasional. Sepanjang yang menyangkut perkara Pidana, yurisdiksi yang dimiliki oleh suatu negara dapat berupa bentuk bentuk berikut ini :

Prinsip Teritorial ( Territorial Jurisdiction ).
Dalam Black Law Dictionary disebutkan bahwa “ Territorial jurisdiction is a jurisdiction arising in or involving persons residing with definite territory”. Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di dalam wilayahnya.[12] Prinsip teritorial ini dibagi menjadi dua :

Prinsip Teritorial subjektif ( Subjective Territorial Principle ). Negara negara ini menjalankan yurisdiksinya agar menuntut dan menghukum perbuatan Pidana yang dilakukan di dalam wilayah negaranya tetapi perbuatan itu diselesaikan atau dituntaskan di wilayah negara lain. Walaupun prinsip ini belum diterapkan secara umum oleh bangsa bangsa, tetapi penerapannya secara khusus telah menjadi bagian dari hukum internasional dan dimasukkan di dalam dua konvensi internasional yaitu Geneva Convention For Suppression of Counterfeiting Currency ( 1929 ) dan Geneva Convention for the Suppression on the Ilicit Trafic Drug ( 1936 ). Menurut konvensi konvensi ini, negara negara peserta wajib menghukum, apabila di dalam wilayahnya, terjadi persekongkolan persekongkolan tindak Pidana dan tindakan ikut serta dengan sengaja dalam perbuatan Pidana perdagangan obat bius dimana pun tindakan kejahatan akhir tersebut dilakukan, sebagaimana juga terhadap percobaan untuk melakukan dan tindakan mempersiapkan kejahatan tersebut .

Prinsip Teritorial Objectif ( Objective Teritorial Principle ). Negara negara tertentu menerapkan yurisdiksi teritorial mereka terhadap perbuatan Pidana atau perbuatan perbuatan yang dilakukan negara lain, tetapi : Dilaksanakan atau diselesaikan di dalam wilayah negara mereka ; atau  Menimbulkan akibat yang  berbahaya terhadap ketertiban sosial di dalam wilayah mereka .[13]

Dalam Hukum Pidana Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak Pidana di Indonesia. Bahkan hukum Pidana Indonesia dapat berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak Pidana di luar Indonesia. Dengan demikian, hukum positif di Indonesia secara jelas menyatakan bahwa segenap kejahatan yang terjadi di dalam wilayah Indonesia, hukum nasional Indonesia yang diterapkan untuk menghukum pelaku kejahatan tersebut.

yurisdiksi Ekstrateritorial.
Tindakan suatu negara dapat memiliki akibat secara ekstrateritorial yang nyata apabila negara tersebut meminta dipenuhinya  suatu kewajiban oleh pihak asing yang berada di luar negri. Perjanjian antara  negara dapat dilakukan untuk memberikan kewenangan pada negara peserta perjanjian untuk saling mengakui secara timbal balik. Pengakuan secara timbal balik dilakukan terhadap tindakan resmi yang dilakukan di bawah hukum negara peserta lainnya dan mengambil tempat di nagara tersebut. Penerapan yurisdiksi ekstrateritorial adalah sah sah saja sepanjang pelaksanaannya mendapat persetujuan dari negara yang bersangkutan. Persetujuan tersebut biasaanya di wujudkan dalam bentuk perjanjian.

 Penerapan yurisdiksi Indonesia menurut hukum Internasional di hubungkan dengan tindak Pidana Korupsi Transnasional.
Indonesia telah melakukan upaya upaya hukum untuk mengatasi tindak Pidana korupsi ini, dengan membentuk peraturan peraturan sehingga pelaku tindak Pidana Korupsi dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Permasalahan akan semakin kompleks apabila tersangka maupun pelaku tindak Pidana korupsi tersebut melarikan diri keluar wilayah negara Republik Indonesia. Hal ini karena suatu negara tidak dapat secara otomatis memaksakan ketentuan hukumnya yang telah di rumuskannya, di luar wilayah negaranya. Atau dengan kata lain Indonesia tidak dapat melakukan tindakan hukum  atau yurisdiksi hukumnya di wilayah negara lain karena hal tersebut merupakan yurisdiksi dan kewenaangan negara lain.
Negara Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorial yang diakui oleh hukum internasional  dan asas teritorial objektif sebagai negara yang berwenang dalam menerapkan hukum Pidananya atas si pelaku tindak Pidana korupsi  yang dilakukan di dalam wilayah negaranya ( koruptor ) kemudian  melarikan diri ke wilayah negara lain. Tetapi penerapan yurisdiksi tersebut tidak dapat secara otomotis dilakukan. Apabila suatu negara ingin menjalankan Yurisdiksi hukumnya di suatu negara asing harus ada izin ataupun persetujuan dari negara yang bersangkutan.
Persetujuan atau izin tersebut dapat di wujudkan dalam bentuk Perjanjian Bilateral antara Indonesia dengan negara yang bersangkutan.[14]Perjanjian dilakukan antara negara untuk saling mengakui secara timbal balik.[15] Pengakuan secara timbal balik dilakukan terhadap tindakan resmi yang dilakukan di bawah hukum Indonesia yang mengambil tempat  di negara asing. Dengan adanya perjanjian tersebut maka Indonesia dapat menerapkan yurisdiksinya secara ekstrateritorial ( di wilayah negara lain ) sepanjang berkaitan dengan hal hal tertentu saja yang di setujui di dalam perjanjian.

Tindak Pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai tindak Pidana transnasional.
- Konvensi Parlemo dan UNCAC
Seiring dengan perkembangan transportasi, seorang pelaku kejahatan dapat dengan mudah melarikan diri keluar wilayah negaranya, tempat dimana kejahatan tersebut dilakuan untuk menghindari pertanggungjawaban terhadap kejahatan yang telah dilakukan. Penanganan masalah seperti ini harus melibatkan negara terkait dan kerjasama dengan negara lain agar pelaku kejahatan tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.
     Menganggapi masalah tersebut PBB berhasil merumuskan United Nations On Transnasional Organised Crimes ( Parlemo Convention ) tanggal 17 Desember 1999, di Parlemo. Dari konvensi tersebut dapat dilihat bahwa  makin banyak kejahatan yang digolongkan ke dalam kejahatan transnasional. Kejahatan dibidang bisnis mulai di masukan ke dalam kejahatan transnasional, misalnya korupsi dan pencucian uang. Sebagai langkah lebih lanjut PBB dalam usahanya menanggulangi masalah korupsi, PBB kini telah merumuskan United Nations Against Corruption ( UNCAC ) pada tanggal 11 Desember 2003 di Metida, Mexico atau dengan kata lain UNCAC merupakan lex specialis dari Parlemo Convention. Menurut konvensi ini Korupsi dipandang sebagai kejahatan yang sangat mempengaruhi pembangunan ekonomi, kestabilan politik negara dan membawa kesengsaraan bagi rakyat. Hal ini dapat dilihat dari Mukadimah  UNCAC, yaitu sebagai berikut :

Negara-negara Pihak pada Konvensi ini,
Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum,
Prihatin juga atas hubungan antara korupsi dan bentuk-bentuk lain kejahatan, khususnya kejahatan terorganisir dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang,
Prihatin lebih jauh atas kasus-kasus korupsi yang melibatkan jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting dari sumber-sumber Negara-negara, dan yang mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang berkelanjutan Negara-negara tersebut,
Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting,
Meyakini juga bahwa suatu pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner diperlukan untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif, 
Meyakini lebih lanjut bahwa keberadaan bantuan teknis dapat memainkan peranan yang penting dalam meningkatkan kemampuan Negara-negara, termasuk dengan memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk mencegah dan memberantas korupsi secara efektif,
Meyakini bahwa perolehan yang tidak sah atas kekayaan pribadi dapat secara khusus merusak lembaga-lembaga demokrasi, sistem ekonomi nasional dan penegakan hukum,
Berketetapan untuk mencegah, mendeteksi dan menghambat dengan cara yang lebih efektif atas transfer internasional aset yang diperoleh secara tidak sah dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset,
Mengakui prinsip-prinsip dasar prosedur hukum dalam proses Pidana dan perdata atau proses administratif untuk mengadili hak-hak atas kekayaan,         
Mengingat bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi merupakan tanggung jawab semua Negara dan bahwa mereka harus saling bekerjasama, dengan dukungan dan keterlibatan perorangan dan kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat madani, organisasi-organisasi non pemerintah, dan organisasi-organisasi berbasis masyarakat apabila upaya-upaya mereka dalam bidang ini diharapkan efektif,
Mengingat juga prinsip-prinsip pengelolaan yang layak atas urusan-urusan publik dan kekayaan publik, keadilan, tanggung jawab dan kesetaraan di muka hukum dan kebutuhan untuk menjaga integritas dan untuk meningkatkan budaya penolakan terhadap korupsi,         
 
Isu isu yang penting dari konvensi tersebut adalah bagaimana menjembatani perbedaan sistem hukum yang berlaku di negara negara anggota demi memastikan setiap pelaku kejahatan dapat dihadapkan ke pengadilan dimana pun dia berada. Pengaturan dalam UNCAC, mewajibkan setiap negara peserta konvensi untuk membuat peraturan atau UU di setiap negara peserta untuk mengatasi korupsi. Selain itu UNCAC dengan jelas menyebutkan bahwa untuk mengatasi korupsi, dibutuhkan kerjasama internasional. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban setiap negara untuk turut bekerja sama dalam memberantas korupsi baik melalui kerjasama interpol atau kerjasama lain.

Pengertian tindak Pidana internasional.
    Pengertian hukum Pidana internasional adalah sebagai berikut :[16]
1)  Hukum Pidana internasional dalam arti ruang lingkup hukum teritorial hukum Pidana   nasional.
2)  Hukum Pidana internasional dalam arti aspek internasional yang diterapkan sebagai ketentuan dalam hukum Pidana nasional.
3)  Hukum Pidana internasional dalam arti kewenangan internasional yang  terdapat di dalam hukum Pidana nasional.
4)  Hukum Pidana internasional dalam ketentuan hukum Pidana nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa yang beradap.
5)  Hukum Pidana internasional dalam arti kerjasama internasional dalam mekanisme administrasi peradilan Pidana nasional.
6)  Hukum Pidana internasional dalam arti kata materil.
       
Pada umumnya kejahatan transnasional adalah kejahatan yang memenuhi unsur unsur :[17] Tindakan tersebut memiliki dampak terhadap lebih dari satu negara; tindakan tersebut melibatkan atau memberikan dampak  terhadap warga negara lebih dari satu  negara; Sarana dan prasarana serta metoda metoda yang dipergunakan melampaui  batas batas teritotial suatu negara.Unsur necessity yang termasuk dalam unsur unsur yang disebutkan di atas adalah : kebutuhan akan kerjasama antar negara untuk melakukan penanggulangan.[18]
Syarat syarat suatu kejahatan dapat disebut sebagai kejahatan internasional ialah : Tindakan tersebut dinyatakan secara tegas sebagai tindak Pidana melalui hukum perjanjian internasional; Tindakan tersebut dikenal sebagai tindak Pidana melalui kebiasaan dan prinsip prinsip umum Hukum Internasional.[19] Tindak Pidana korupsi, apabila dianalisa dari pengertian, unsur dan syarat seperti yang di jabarkan di atas, dan bila dianalisa secara textual dari UNCAC maka dapat di kategorikan korupsi sebagai tindak Pidana  transnasional. Hal ini dapat di jabarkan sebagai berikut :
a.  Secara eksplisit dinyatakan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan menurut hukum internasional. UNCAC adalah perjanjian internasional yang dapat di kategorikan sebagai sumber hukum internasional.[20] Dalam UNCAC Korupsi adalah tindakan yang dilarang oleh konvensi internasional meskipun tidak secara spesifik dikatakan bahwa tindakan tersebut adalah kejahatan internasional.
b.  Korupsi membawa dampak kesengsaraan bagi rakyat. Salah satu akibat dari korupsi yang di gariskan dalam UNCAC adalah terganggunya stabilitas dan keamanan masyarakat dan merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum.
c.  Korupsi merupakan masalah bersama bagi masyarakat internasional. Hal ini dapat di lihat dalam mukadimah UNCAC yaitu sebagai berikut : Meyakini bahwa korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, yang menjadikan kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting,
d.  Diperlukan kerjasama internasional dalam menanggulangi korupsi , terutama dimana pelaku tindak Pidana korupsi, melarikan diri ke luar negri dan menyembunyikan aset aset hasil korupsinya di luar negri. Hal ini tercermin dalam Pasal Pasal dalam UNCAC yaitu :

                                                                Pasal 1 
                                                Pernyataan Tujuan
                                                 Tujuan-tujuan Konvensi ini adalah:

(a)  Meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk mencegah dan memberantas korupsi secara lebih efisien dan efektif;
(b)   Meningkatkan, memfasilitasi, dan mendukung kerjasama internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, termasuk dalam pengembalian aset;

                       Pasal 43

                                                     Kerjasama internasional


  1. Negara-negara Pihak wajib bekerjasama dalam masalah-masalah Pidana sesuai dengan Pasal 44 sampai 50 dari Konvensi ini. Apabila tepat dan sesuai dengan sistem hukum nasional mereka, Negara-negara Pihak wajib mempertimbangkan untuk membantu satu sama lain dalam penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata dan administratif yang berkaitan dengan korupsi.[21]
  2. Dalam hal kerjasama internasional, manakala kejahatan ganda / dual criminality  dianggap sebagai suatu persyaratan, hal tersebut dianggap sebagai telah terpenuhi tanpa memperhatikan apakah undang-undang dari Negara Pihak yang diminta menempatkan suatu kejahatan ke dalam kategori yang sama dari kejahatan atau menyebut kejahatan tersebut dengan istilah yang sama seperti Negara Pihak yang meminta, apabila tindakan yang mendasari kejahatan untuk mana bantuan diminta merupakan kejahatan Pidana berdasarkan undang-undang kedua Negara Piha

                                 Pasal 51

                                                                 Ketentuan umum


Pengembalian aset-aset berdasarkan bab ini merupakan prinsip dasar Konvensi ini, dan Negara-negara Pihak wajib memberikan satu sama lain kerjasama dan bantuan seluas mungkin dalam hal ini.

Upaya yang lakukan indonesia ( menurut hukum internasional ) untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku tindak Pidana korupsi.

- UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UNCAC.
Naskah Konvensi PBB Anti Korupsi  diterima oleh Majelis Umum PBB dengan Resolusi 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003 setelah pembicaraan yang dimulai semenjak tanggal 1 Januari 2002 hingga tanggal 1 Oktober 2003. Pada saat ini telah terdapat banyak negara yang telah menjadi pihak dalam konvensi ini.  Pada pokoknya Konvensi PBB mengenai anti korupsi ini berisi empat materi pokok yaitu usaha-usaha pencegahan tindakan Korupsi, Kriminalisasi dari tindakan korupsi, kerjasama internasional dalam rangka penanggulangan tindakan Korupsi, serta pengembalian dari aset-aset. Pada dasarnya UNCAC ini akan menguatkan komitmen Indonesia dalam rangka melakukan pemberantasan tindak korupsi berdasarkan aturan hukum yang telah dimiliki oleh Indonesia, yang termasuk di dalamnya untuk mendapatkan kembali asset-aset koruptor yang ditempatkan di luar negeri. UNCAC ini terdiri dari Pembukaan dan Batang Tubuh yang mencakup 8 (delapan) bab dan 71 Pasal. Pembukaan dari konvensi ini menekankan pada adanya suatu keprihatinan dari negara-negara di dunia mengenai meningkatnya tindakan korupsi dan keharusan adanya suatu kerjasama internasional mengenai pencegahan dan pemberantasan tindakan korupsi serta pengembalian dari aset-aset yang ditempatkan di luar negeri.
Tujuan dari konvensi ini sebagaimana tertera dalam Pasal 1 konvensi PBB Anti Korupsi ini, sudah selaras dengan hukum dan kebijakan nasional Indonesia  yang ada saat ini. Definisi mengenai hal-hal dalam konvensi ini diberikan dalam Pasal 2 konvensi PBB Anti Korupsi. Dalam Pasal ini dijabarkan mengenai pengertian dari pejabat publik, pejabat publik asing, perwakilan dari organisasi internasional publik, properti, tindak lanjut dari kejahatan, pembekuan atau penyitaan, konfiskasi, kejahatan asal, dan pengiriman terkontrol. Sedangkan dalam UU No. 31 Tahun 1999, pengertian dari korupsi diberikan dalam Pasal 2 dan Pasal 3. Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, di Pidana dengan Pidana penjara seumur hidup atau Pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Sedangkan dalam Pasal 3 menyebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, diPidana dengan Pidana penjara seumur hidup atau Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Hal yang harus diperhatikan bahwa definisi yang diberikan dalam Konvensi PBB Anti Korupsi ini adalah perluasan dari definisi yang ada dalam ketentuan nasional Indonesia khususnya mengenai pengertian dari pejabat  publik.
Bab II yang terdiri dari Pasal 5 sampai dengan 14 berisikan ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya-upaya pencegahan Korupsi termasuk di dalamnya pengaturan mengenai kode etik bagi pejabat publik (Pasal 8), pembelanjaan negara dan pembiayaan, serta public reporting. Dalam pengaturan dalam bidang pencegahan ini terdapat pula ketentuan mengenai masalah pengawasan yang sudah sejalan dengan ketentuan nasional Indonesia karena saat ini Indonesia sudah memiliki lembaga pengawasan keuangan publik seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi (KPK) serta pengawasan secara internal di tiap institusi (Pasal 10). Ketentuan di bidang pencegahan ini juga mencakup pengawasan di bidang privat atau swasta  yang dapat melengkapi ketentuan hukum nasional karena saat ini ketentuan hukum nasional Indonesia mengenai masalah pengawasan swasta masih bersifat sektoral dan Individual misalnya untuk perusahaan terbuka terdapat UUPT dan aturan-aturan Bapepam, dan untuk perbankan terdapat UU Perbankan (Pasal 12).
Pasal 13 dari konvensi ini memberikan ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah akses masyarakat terhadap informasi serta partisipasi masyarakat dalam rangka upaya pencegahan korupsi hal ini sudah selaras dengan Pasal 41 dan 42 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 14 mengatur mengenai tindakan pencegahan pencucian uang. Substansi dari Pasal ini telah sejalan dengan isi dari UU No. 15 tahun 2002 tentang tindak Pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang perubahan atas UU No. 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang dimana dalam ketentuan hukum nasional Indonesia tersebut terdapat ketentuan untuk mendirikan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) yang merupakan lembaga pengawas untuk tindakan pencucian uang yang di dalamnya mengenal prinsip-prinsip kehati-hatian dan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan.
Bab III dari konvensi ini terdiri dari Pasal 15 sampai dengan Pasal 42, memberikan ketentuan mengenai tindakan-tindakan dimana negara-negara pihak diwajibkan untuk membentuk ketentuan nasional yang menyatakan bahwa tindakan-tindakan tersebut adalah sebuah kejahatan. Serta menjatuhkan sanksi pada  Tindakan-tindakan tersebut adalah penyuapan dan penerimaan dana serta keuntungan oleh pejabat publik dan pejabat publik asing , penggelapan dan penyalahgunaan hal milik oleh pejabat publik, menyalahgunaan kekuasaan, memperkaya diri sendiri, penyuapan di sektor swasta, penggelapan di sektor swasta, pencucian hasil kejahatan, penyembunyian, Penghalangan jalannya proses pengadilan. Konvensi ini juga mengatur mengenai masalah tanggung jawab badan hukum, serta dapat pula menjerat pihak-pihak yang ikut serta atau hanya melakukan percobaan dari tindakan-tindakan di atas.
Setelah mengatur mengenai tindakan-tindakan yang harus dianggap sebagai kejahatan, konvensi ini juga juga memberikan batasan-batasan tentang tata cara pelaksanaan penuntutan, pengadilan, termasuk di dalamnya pembatasan waktu, perlindungan terhadap saksi, perlindungan terhadap pelapor, pelaksanaan kerjasama badan-badan penegakan hukum serta kerjasama antar badan berwenang nasional, dan mengenai masalah kerahasiaan bank, yang kesemuanya ini tetap harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum nasional negara pihak yang bersangkutan (Pasal 28-Pasal 42).
Bab IV dari konvensi ini mengatur mengenai masalah kerjasama internasional mengenai masalah pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang di dalamnya termasuk masalah-masalah Ekstradisi (Pasal 44), Transfer NaraPidana (Pasal 45), Bantuan Hukum Timbal Balik (Pasal 46), transfer naraPidana (Pasal 47), Kerjasama penegakan hukum (Pasal 48), Penyidikan bersama (Pasal 49), serta dikenalkannya teknik-teknik penyidikan khusus (Pasal 50). Masalah pengembalian aset terdapat dalam bab V dari konvensi ini yang terdiri dari Pasal 51 sampai dengan Pasal 59. Masalah ini merupakan salah satu masalah yang dirasakan sangat penting bagi negara kita. Dalam konvensi ini terdapat beberapa ketentuan yang berkaitan dengan masalah pengembalian aset ini yaitu: Tindakan pencegahan dan deteksi transfer-transfer hasil-hasil kejahatan (Pasal 52).
Tindakan-tindakan untuk pengembalian langsung atas kekayaan yang terdiri dari pengizinan negara pihak lain untuk mengajukan gugatan perdata dalam rangka mendapatkan kembali aset-asetnya, mengizinkan pengadilannya untuk memerintahkan mereka yang melakukan kejahatan yang ditetapkan oleh konvensi ini untuk membayar ganti rugi kepada negara pihak lain yang dirugikannya, serta untuk mengizinkan pengadilannya, bilamana harus memutuskan untuk melakukan perampasan, untuk mengakui tuntutan negara lain sebagai pemilik sah dari kekayaan yang diperoleh melalui pelaksanaan kejahatan yang diatur oleh konvensi ini (Pasal 53).
Mekanisme untuk pengembalian kekayaan melalui kerjasama internasional dalam hal perampasan juga diatur dalam konvensi ini (Pasal 54 dan Pasal 55). Konvensi ini juga memungkinkan adanya kerjasama-kerjasama khusus mengenai masalah pengembalian aset ini (Pasal 56). Konvensi ini juga mengatur mengenai tata cara pengembalian aset dan penyerahan ase yang diatur dalam Pasal 57 Konvensi ini. Selain itu diatur pula mengenai masalah unit interlijen keuangan (Pasal 58) serta mengusulkan diantara negara-negara pihak diadakan perjanjian-perjanjian baik bilateral maupun multilateral untuk meningkatkan efektifitas kerjasama internasional khususnya mengenai masalah pengembalian aset ini (Pasal 59).
Bab VI yang terdiri dari Pasal 60, Pasal 61 dan Pasal 62 mengatur mengenai bantuan teknis dan pertukaran informasi diantara negara-negara pihak. Yang termasuk didalamnya pelatihan dan bantuan teknis, juga pengumpulan, pertukaran dan analisa informasi dari tindak korupsi. Bab VII yang terdiri dari Pasal 63 dan Pasal 64 konvensi ini, mengatur mengenai masalah mekanisme pelaksanaan dari konvensi ini.

Konvensi PBB Anti Korupsi.

Terdapat empat isu penting dari Konvensi PBB Anti Korupsi ini yaitu usaha-usaha pencegahan tindakan Korupsi, Kriminalisasi dari Tindakan Korupsi, Kerjasama Internasional dalam rangka penanggulangan tindakan Korupsi, serta pengembalian dari aset-aset yang ditempatkan di luar negeri.Masalah pencegahan ini berkaitan masalah kebijakan negara untuk mencegah terjadinya tindakan korupsi termasuk di dalamnya pembentukan badan anti korupsi (hal ini telah dilakukan di Indonesia dengan UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian diatur dengan lebih spesifik dalam UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), serta transparansi dalam bidang keuangan publik.
Berkaitan dengan masalah pencegahan ini terdapat pula pengaturan mengenai pejabat publik dan kode etiknya. Di Indonesia masalah ini tidak diatur secara terpusat, tetapi perbidang sesuai dengan profesinya misalnya kode etik untuk PNS serta Kode etik bagi pejabat di bidang legislatif yang diatur secara terpisah.  Masalah pencegahan ini juga mengatur masalah pengaturan di bidang swasta yang di Indonesia juga masih diatur secara terpisah sesuai masing-masing bidang. Masalah pencegahan ini juga mengatur masalah peran serta masyarakat untuk mendapatkan informasi atau melakukan pencegahan terjadinya korupsi.
Masalah kedua yaitu kriminalisasi, mewajibkan negara-negara pihak untuk menganggap tindakan-tindakan yang diatur dalam konvensi ini sebagai tindak kehatan sebagai sebuah kejahatan dalam ketentuan hukum nasionalnya serta untuk menjatuhkan sanksi atas tindakan-tindakan tersebut berdasarkan ketentuan hukum nasionalnya tersebut. Mengenai masalah yang kedua ini tidak terdapat suatu masalah karena Indonesia telah mempunyai dua buah ketentuan hukum nasional mengenai masalah korupsi ini yaitu UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian diubah oleh UU No. 20 tahun 2001. Masalah ketiga adalah masalah kerjasama internasional dimana dalam konvensi ini negara-negara pihak menyetujui untuk melakukan kerjasama dalam usaha-usaha pemberantasan Tindak Korupsi ini yang meliputi pencegahan, penyidikan dan pengadilan bagi pelaku kejahatan korupsi ini. Negara-negara pihak juga diwajibkan untuk membentuk sebuah Mutual Legal Assistance (MLA) dalam pengumpulan dan penyerahan bukti-bukti yang dipergunakan di pengadilan, untuk mengekstradisi, serta mengambil langkah-langkah untuk melacak, membekukan, mendapatkan dan merampas hasil kejahatan tersebut. Walaupun demikian kerjasama internasional dalam bentuk Ekstradisi, Transfer NaraPidana, Bantuan Hukum Timbal Balik, transfer naraPidana, Kerjasama penegakan hukum, Penyidikan bersama, serta dikenalkannya teknik-teknik penyidikan khusus tetaplah harus berdasarkan ketentuan hukum nasional sehingga tetap tidak menjadi penghalang dalam meratifikasinya.
Masalah keempat yang merupakan salah satu masalah yang amat penting bagi Indonesia adalah masalah pengembalian aset-aset hasil kejahatan yang ditempatkan di luar negeri. Hal ini merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi ini, dan ini menjadi amat penting karena sering kali korupsi telah menimbulkan kerugian negara dalam jumlah yang amat besar dimana dana tersebut sebenarnya amat diperlukan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dengan diangkatnya masalah pengembalian aset ini maka aset-aset hasil kejahatan yang ditempatka di luar negeri dapat diperoleh kembali oleh negara pihak yang dirugikan. Selain itu terdapat suatu permasalahan, yaitu persyaratan dual criminality untuk masalah ini. Tetapi dengan diangkatnya masalah ini kedalam konvensi ini, maka dianggap syarat tersebut telah terpenuhi asalkan baik negara peminta atau yang diminta adalah sama-sama negara pihak dari konvensi ini.

Kerjasama internasional yang dilakukan Indonesia dalam  menangani masalah korupsi.
Berdasarkan UNCAC kerjasama internasional mengenai masalah pemberantasan tindak Pidana Korupsi dapat di wujudkan dalam bentuk Ekstradisi, Transfer NaraPidana, Bantuan Hukum Timbal Balik, transfer naraPidana, Kerjasama penegakan hukum, Penyidikan bersama, serta dikenalkannya teknik-teknik penyidikan khusus.

Ekstradisi.
Definisi Ekstradisi:menurut Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 tahun 1979 : “Ekstradisi adalah penyerahan atas seseorang yang disangka atau diPidana karena melakukan suatu tindak Pidana, yang dilakukan oleh suatu negara kepada negara peminta.  Sedangkan menurut Black Law Dictionary : “The surrender by one state or country to another of an individual accused or convicted of an offense outside its own territory and within the territorial jurisdiction of the other, which, being competent to try and punish him, demands the surrender”. Ekstradisi hanya berkaitan penyerahan seorang pelaku kejahatan dari suatu negara ke negara lain. Dengan demikian, perjanjian ekstradisi tidak dapat digunakan oleh suatu negara untuk maksud –maksud selain penyerahan orang, seperti mendapatkan barang bukti atau hasil suatu kejahatan ( Melalui MLA). [22] Saat ini Indonesia sudah mempunyai beberapa perjanjian ekstradisi dengan beberapa negara yaitu :
  • Perjanjian ekstradisi antara RI dan Philipina : Ditandatangani tanggal 10 Februari 1976. Diratifikasi dengan UU No. 10 tahun 1976 tanggal 26 Juli 1976.
  • Perjanjian ekstradisi RI – Thailland : Ditandatangani tanggal 29 Juni 1976. Diratifikasi dengan UU No. 2 tahun 1978
  •  Perjanjian ekstradisi RI – Australia Ditandatangani tanggal 22 April 1992. Diratifikasi dengan UU No. 8 tahun 1994.
  • Perjanjian Ekstradisi RI- hongkong : Ditandatangani tanggal 5 Mei 1997. Diratifikasi dengan UU No. 1 tahun 2001  RI – South Korea Ditanda tangani tanggal 28 November 2000 Dan Sedang dalam proses ratifikasi
  • Perjanjian Ekstradisi antara RI- Malaysia : Ditandatangani pada tanggal 7 Juni 1974. Diratifikasi dengan UU No. 9 tahun   1974 tanggal 26 Desember 1974.

Mutual Legal assistance.
Ekstradisi hanya berkaitan penyerahan seorang pelaku kejahatan dari suatu negara ke negara lain. Dengan demikian, perjanjian ekstradisi tidak dapat digunakan oleh suatu negara untuk maksud –maksud selain penyerahan orang, seperti mendapatkan barang bukti atau hasil suatu kejahatan.
Upaya suatu negara untuk memperoleh barang bukti atau menarik kembali barang hasil kejahatan hanya dapat dilakukan mekanisme melalui Mutual Legal Assistance (MLA). MLA pada dasarnya suatu mekanisme formal dimana suatu negara dapat meminta negara lain untuk memberikan bantuan guna suatu penyidikan, penuntutan, pengadilan suatu perkara Pidana. Walaupun tunduk pada prinsip-prinsip hukum yang sama, MLA sangat berbeda dengan ekstradisi. MLA sama sekali tidak menyangkut dengan “penangkapan” atau “penyerahan” seseorang. MLA lazimnya meliputi, antara lain, bantuan untuk menyampaikan barang bukti, pemeriksaan saksi, pengeledahan, penyitaan, dan pengembalian barang (harta) hasil kejahatan.

Transfer Nara Pidana.
Pengertian TSP adalah salah satu bentuk kerjasama antar negara di bidang hukum selain ekstradisi (extradition) dan bantuan hukum timbal balik dalam perkara Pidana (mutual legal assistance in criminal matters / MLA). Dalam TSP, suatu negara (administering state) meminta bantuan negara lain (sentencing state) untuk memindahkan seorang narapidana untuk menjalani hukuman yang telah di jatuhkan atas naraPidana tersebut di administering state. TSP tidak dapat diartikan sebagai pertukaran naraPidana (exchange of prisoners) yang biasanya terkait dengan tahanan perang (prisoners of wars / POW) yang mana biasanya dilaksanakan secara resiprokal dengan jumlah tahanan yang sama atau senilai. TSP adalah upaya memindahkan naraPidana yang dilakukan atas dasar kasus per kasus dan sesuai dengan kepentingan negara pada saat itu yang tidak selalu bersifat resiprokal.TSP dilatarbelakangi oleh pertimbangan kemanusiaan dan HAM. Pertimbangan bahwa naraPidana akan lebih nyaman bila menjalankan hukumannya di negara asal karena lebih dekat dengan keluarga dan budaya merupakan dasar negara-negara membentuk Perjanjian TSP satu sama lainnya. Namun demikian, pertimbangan tersebut bukan satu-satunya faktor agar suatu negara membentuk Perjanjian TSP. Pertimbangan sistem hukum turut mewarnai problematika pembentukan Perjanjian TSP.
Prinsip-prinsip Hukum TSP: Ada beberapa prinsip-prinsip hukum yang selalu digunakan oleh negara-negara dalam mempraktekan TSP, yakni:[23]
  • TSP dilakukan berdasarkan suatu Perjanjian. Namun tidak menghalangi suatu negara untuk memindahkan seorang narapidana tanpa adanya suatu Perjanjian tersebut.
  • Adanya suatu kesepakatan (consent ) antara administering state dan sentencing state. Kemudian, narapidana yang akan dipindahkan memberikan persetujuannya (consent). Narapidana tersebut pun masih memiliki hak untuk menolak dipindahkan
  • Sang Narapidana merupakan warganegara administering state.
  • Putusan yang dijatuhkan atas narapidana tersebut sudah berkekuatan hukum tetap (final) dan mengikat (binding).
  •  Sisa hukuman yang harus dijalani oleh narapidana tersebut di administering state adalah minimal 6 (enam) bulan. Dan narapidana tersebut telah menjalani sebagian besar hukuman tersebut di sentencing state.
  • Pelaksanaan putusan setelah dipindahkan dapat dilakukan dengan berkelanjutan (continued enforcement) atau dikonversikan (conversion of sentence). Yang menentukan apakah hukuman tersebut continued maupun converted adalah sistem hukum administering state, kecuali dalam perjanjian ditentukan lain.
  • Narapidana yang telah dipindahkan dapat diberikan ampunan (pardon), amnesty (amnesty), atau dikomutasikan (commutation). Yang menentukan apakah narapidana tersebut dapat diberikan pardon, amnesty, maupun commutation adalah sistem hukum administering state, kecuali dalam perjanjian ditentukan lain.
Kesimpulan.

  • Negara Indonesia dapat menerapkan yurisdiksi teritorial yang diakui oleh hukum internasional  dan asas teritorial objectif ( hukum Pidana ) sebagai negara yang berwenang dalam menerapkan hukum Pidananya atas si pelaku tindak Pidana korupsi  yang dilakukan di dalam wilayah negaranya ( koruptor ) kemudian  melarikan diri ke wilayah negara lain. Tetapi penerapan yurisdiksi tersebut tidak dapat secara otomotis dilakukan. Apabila suatu negara ingin menjalankan Yurisdiksi hukumnya di suatu negara asing harus ada izin ataupun persetujuan dari negara yang bersangkutan. Persetujuan atau izin tersebut dapat di wujudkan dalam bentuk Perjanjian Bilateral antara  Indonesia dengan negara yang bersangkutan.
  • Upaya yang kini dilakukan oleh Indonesia dalam memberantas korupsi adalah Indonesia Indonesia telah mempunyai sejumlah peraturan yang substansinya selaras dengan isi dari konvensi ini yaitu UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang, dan UU No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15 tahun 2002 tentang Pencucian Uang.
  • Sedangkan kerjasama internasional yang dilakukan Indonesia dalam rangka memberantas tindak Pidana korupsi adalah dengan mengadakan perjanjian Ekstradisi , MLA, TSP dengan negara negara asing yang terkait.

Rani Purwanti Kemalasari.
Alumni Fakultas Hukum Trisakti Jurusan Hukum Internasional
Alumni Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Jurusan Hukum Internasional


[1] Rena Yulia Nuryani , Upaya Penegakkan hukum dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  di Indonesia, Syiar Mandani, Jurnal hukum , Vol VII no 1 Januari 2005. Fakultas Hukum Unisba.
[2] Kamus Hukum Fockema Andreae, ( Bandung ; Bina Cipta , 1983 ) huruf c terjemahan Bina Cipta.
[3] Romli Atasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana Internasional, Bandung ; CV. Utomo. 2004, hlm ix.
[4] Wasingastu Zakiyah, Komisi Anti korupsi; Garda Terakhir Pemberantasan Korupsi , Teropong Vol I No 8, Oktober 2002 ,Hlm 12.
[5] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Pidana Nasional Dan Internasional, Pt Raja Grafindo Persada , Jakarta hal 11- 23.
[6] Tien Saefullah , Hubungan Antara yurisdiksi Universal Dengan Kewajiban Negara  Berdasarkan Prinsip Aut Prepare Aut Juducate Dalam Tindak Pidana Penerbangan Dan Implementasinya di Indonesia, Jurnal Hukum Internasional Unpad Vol I/ I / 2002.
[7] Arti kedaulatan pada dasarnya :
§  Kekuasan yang tertinggi yang hanya dimiliki oleh negara.
§  Kekuaaaan negara yang digunakan negara untuk membuat aturan aturan hukum yang berlaku di wilayahnya.
§  Kekuasaan yang  digunakan untuk membuat lembaga lembaga negara.
§  Kedaulatan tereleksikan pada kekuasaan negara untuk mengadakan hubungan internasional dan tindakan tindakan lain sebagai perwujudan dari kedaulatannya.
[8] Yurisdiksi ini dapat kita lihat  di dalam kasus Lotus Case  dimana terdapat pernyataan : only limited circumstances does international law allow a state to exercise jurisdiction over foreign ship passing trough its territorial waters or on high seas. 
[9] D.W Greig, International Law, Second edition , Butterworth, London 1976. Hlm 210.
[10] D.W Bowet, Jurisdiction : Changing Patterns of Authority Over Activities and Resources, The Structure and Process of international law : Essays In legal Philosopy Doctrine and Theories : R.ST. J. Mac Donal and Douglas .M. Johnston Eds, Martinus Nijhoff Publisher , Netherlands 1986, Hlm 566 – 567.
[11] Un General Assembly atau sering disingkat Mejelis Umum PBB adalah salah satu organ utama PBB. Mejelis Umum ini beranggotakan seluruh negara negara anggota PBB.Tugas dari pada Mejelis Umum dapat dilihat dalam UN Charter yaitu   meningkatkan kerja sama internasional dalam bidang politik , peningkatan pembangunan hukum internasional secara progresif dan pengkodifikasinnya . Dan meningkatkan kerjasama internasional dalam bidang ekonomi , sosial dan budaya , pendidikan , kesehatan dalam rangka realisasi hak asasi serta kebebasan untuk semua. Ade Maman Suherman ,Hukum organisasi internasional dan Integrasi Ekonomi Regional Dalam Perspektif Hukum Dan GloBalisasi. Hal 115-116.
[12] Prinsip ini  didukung oleh pernyataan hakim Lord Mac Milian yang berbunyi : “it’s a essential attribute of the sovereignty pf this realm , as of all sovereign independent states , that it should posses jurisdiction over all persons and things within its territorial limits and in all causes civil and criminal arising within these limits “. J.G Starke ., Hal 271.
[13] Profesor Hyde memberi pengertian yurisdiksi dengan prinsip tersebut sebagai berikut : The setting in montion outside of a state which produces as a direct consequences an injuries effect there in justifies the territorial sovereign in prosecuting the actor when he enters its domain “ Ibid,. Hlm 273.
[14] Perjanjian ditinjau dari segi jumlah negara negara yang menjadi pihak atau pesertanya dibedakan sebagai berikut : a) perjanjian internasional bilateral , yaitu suatu perjanjian internasional  yang pihak pihak atau negara peserta yang terikat dalam perjanjian tersebut adalah dua pihak atau dua negara saja. B) perjanjian internasional multilateral ,yaitu suatu perjanjian yang pihak pihaknya atau negara negara yang menjadi peserta dalam perjanjian tersebut adalah lebih dari dua .c) perjanjian regional adalah yaitu suatu perjanjian yang pihak pihanya atau negara negara yang menjadi peserta dalam perjanjian tersebut berasal dari suatu region / wilayah tertentu saja. Jika dilihat dari para pihaknya Perjanjian ekstradisi adalah jenis perjanjian bilateral,I Wayan Parthiana ,Hukum Perjanjian Internasional. Bandar Maju, Bandung, 2002. Hal 40
[15] Pengakuan merupakan perbuatan hati hati yang dapat dilakukan oleh suatu negara di saat yang dikendakinya dan dalam bentuk yang ditentukan secara bebas. Pengakuan negara adalah pernyataan dari suatu negara yang mengakui negara lain sebagi subjek hukum internasional. Sebagai akibatnya, negara tersebut tituler dari semua wewenang dan dapat melaksanakan perbuatan perbuatan dalam hubungan antara negara negara sesuai dengan hukum internasional. Pengakuan secara kolektif biasanya diwujudkan dalam suatu perjanjian yang bersifat bilateral  atau konvensi multilateral[15] Boer Mauna , Hukum Internasional , Pengertian , Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Penerbit PT Alumni bandung , 2005. Hal  65.
[16] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Refika Aditama, Bandung ,  September 2000, hal 21.
[17] Ibid, Hal 46-47.
[18] Ibid, Hlm 47.
[19] Prinsip prinsip umum hukum internasional adalah prinsip prinsip umum hukum yang berlaku di seluruh atau sebagian besar hukum nasional negara negara. Walaupun hukum nasional berbeda antara satu negara dengan negara lainnya namun pada prinsipnya tetap sama. Prinsip prinsip umum yang diambil dari sistem sistem nasional ini dapat mengisi kekosongan yang terjadi dalam hukum internasional.
[20] Pasal 38 Statuta Mahkamah Internasional menetapkan sumber hukum internasional yang digunakan oleh Mahkamah Internasional untuk mengadili perkara. Sumber sumber hukum internasional tersebut adalah :
1.Konvensi konvensi internasional baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus.
2.Kebiasaan kebiasaan internasional, yang  terbukti  telah merupakan praktek praktek umum yang diterima sebagai hukum.
3.Prinsip prinsip hukum yang diakui oleh bangsa bangsa yang beradap.
4.keputusan keputusan hakim dan ajaran ajaran para ahli hukum yang terpandang dari berbagai negara  sebagai bahan pelengkap untuk penentuan peraturan hukum.
[21] kerjasama dalam masalah-masalah Pidana sesuai dengan Pasal 44 sampai 50 dari Konvensi ini adalah dengan cara ekstradisi, Transfer NaraPidana dan bantuan hukum timbal balik serta penyidikan  bersama..
[22] Direktorat Perjanjian Politik , Keamanan dan Wilayah, Kerjasama Ekstradisi, Departemen luar negri, Jakarta , 2006.
[23] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar